Fanfiction
Title : Confession
Author : Jung Rae
Ah
Genre : Romance,
Family
Length :
Multichapter
Cast : Yuju
‘G-Friend’, Jimin ‘BTS’, Kai ‘EXO’
Rating : Teen
Disclaimer : FF
ini hanya imajinasi belaka. Author juga tidak bermaksud mencouple-kan cast di dalam
cerita ini. Harap menyertakan nama author *Eaaa..* atau credit jika copas.
Sebagian cerita terinspirasi dari beberapa K-Drama, jadi harap maklum jika
menemui alur yang hampir mirip.
Happy Reading
Hope You Enjoy It!
Confession
CHAPTER
2---L(ONE)LY
Benar. Ada tempat
dimana aku mengingat semuanya. Ketika aku membuat sebuah puisi untuknya,
“Aku hanya gadis
lain
Bukan karena
melodi kesepian ini mengalun sepanjang pembuluh darahku
Tetapi juga
otakku, memerintah agar aku berhenti memikirkanmu
LUPA! Apakah itu
bakatmu?
Bara cinta ini
belum padam
Hatiku terluka,
memar
Kembalilah! Ke
dunia kita bersama-sama”
...
"Sudah
sampai." Ia mengembangkan senyumnya lagi. Tetapi aku terdiam, terpatung di
tempatku.
"Waeyo?
Kenapa kau tidak langsung pergi sebelum yang lain melihatmu?"
Aku menyerahkan
selembar kertas. "Ini nota total biaya pizza. Aku tidak akan pergi sebelum
kau membayarnya." Ujarku tegas. Ia tertawa lepas. Kali ini ia membayarnya
langsung sambil mengenalkan dirinya.
"Ini uangnya.
Dan kenalkan, namaku Kim Jong In. Panggil saja Kai." Ia mengajak
bersalaman.
"Tak usah
berlebihan. Aku Yuju siswi kelas dua SMA." Aku membungkuk sejenak. Kai
memainkan bola matanya. Menatapku seteduh bayang-bayang pohon di siang hari.
"Kenapa? Apa
ada yang salah denganku?" Aku menjadi salah tingkah. Lelaki ini memang
tampan.
"Haha...
aniya... hanya saja, kau cantik. Sangat cantik." Kali ini ia menatapku
dalam.
"Hey, sudah
pergilah! Aku tidak akan terburu-buru seperti mereka yang ada di dalam sana.
Apalagi karena melihatmu. Aku jadi tidak ingin melakukan apapun." Aku jadi
salah tingkah, aku menggeleng dengan cepat lalu beranjak menuju alamat
selanjutnya.
"Yuju-sshi!
Aku belum mengucapkan terima kasih."
Aku berhenti
sejenak. Ingin kembali rasanya, tetapi tampaknya ia bukan lelaki yang
meyakinkan.
...
Malam ini, aku
mengunjungi ayah sebelum pukul 9 malam. Sudah lama aku menahan rindu ingin
bertemu dengan ayah. Aku percaya, ayah baik-baik saja disana.
“Ayah, sudah lama
tak bertemu.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Menahan isak tangis yang ingin
keluar. Tetapi tampak, air mata ayah keluar lebih dulu.
“Appa... Jangan...
jangan menangis. Ayah tak perlu takut,” aku menyentuh dinding transparan
pembatas ruang kami.
“Ayah hanya
terharu melihatmu sudah besar. Jangan lupakan ayah, Yuju. Ayah mencintaimu.
Meski kita jauh, ayah tetap selalu mendo’akanmu.”
Aku tersenyum
tipis, “Jangan menunduk ayah. Ayah harus mendongak agar cahaya tidak semakin
menjauh. Aku juga akan melakukan apapun untuk mebebaskan ayah. Terkadang,
terlalu membosankan, juga terlalu menyedihkan hidup sendirian di rumah.”
Suasana hening
sejenak. Aku memikirkan bagaimana perasaanku jika ayah adalah aku, maka dari
itu aku ingin menggunakan keberanianku untuk membantu orang lain.
“Ayah, sebentar
lagi jam akhir kerja disini akan berakhir. Dan sebelum aku pergi, aku mempunyai
satu permintaan,” Aku mengeluarkan sebuah lukisan yang kubuat, “Aku ingin ayah
berjanji akan baik-baik saja sampai aku mengajukan sidang ulang nanti. Untuk
ayah.” Ayah hanya mengangguk. Air matanya mengalir lebih deras, sederas arus
air terjun. Aku menunjukkan lukisan yang kubuat itu. Sebuah lukian yang nampak
seorang ayah dan putrinya yang sedang tersenyum bersama.
"Maafkan
ayah. Ayah memang bersalah. Maafkan ayah. Maafkan ayah," Gumam ayah lirih.
“Appa....
Giokhaeyo! Nareul saranghaeyo! Jeongmal gomawoyo.”
Waktu seolah
menutup pintu kebahagiaan kami. Tak lama, ayah diseret masuk ke dalam sel
tahanan. Senyum yang datang, kembali pergi tanpa ijin. Hatiku remuk, rasanya
ingin aku masuk ke sana agar bisa menjaganya. Kuberikan senyum dan sebuah
kepalan tangan pertanda semangat. Aku ingin di usia lansianya, ayah bisa
menghabiskan waktu bersama anak-anaknya. Penuh dalam kedamaian, bukan dalam
penjara gila ini.
...
Sepanjang hamparan
jalan menuju rumah, aku membuka ponsel sambil membaca materi ulangan besok.
Berjalan tenang sambil mengerjakan banyak hal, itulah kemampuan hebatku. Orang
sering menyebutnya multitasking, namun aku langka. Istilah kerennya ‘LIMITTED
EDITION’.
“Yuju-ya!!!” Suara
Umji menggema seketika. Ia tampak baru keluar dari mall.
“Kau dari mana?
Mengapa baru pulang?” Aku berhenti sejenak sambil menghitung perkiraan gajiku
bulan ini di ponselku. Ia lalu menata ulang objek shoppingnya.
“Aku tidak tahu.
Ada banyak hal yang ku kerjakan hari ini,” aku menatap teduh sosok yang
mengajakku berbicara. Namun, tanganku masih memencet tuts keyboard, otakku
berusaha menyimpan materi yang baru ku baca.
"Kau ini!
Kerjakan pekerjaanmu satu per satu. Kamu gak takut kena alzheimer?" Aku
menggeleng. "Tidak." Jawabku innocent.
Ia menggigit bibir
bawahnya, sambil menatap ke arah atas sambil memiringkan kepalanya. Pertanda ia
sedang berfikir keras.
“Ngomong-ngomong,
banyak hal yang kau lakukan itu bukan termasuk kencan dengan Jimin kan?” Umji
mengucap kalimatnya dengan semangat. Aku menjawab sekedarnya,
“Ku pikir dia
sahabatku. Dia sangat baik, tetapi aku membuatnya sedih sejak tadi siang.” Aku
mengangguk seolah menemukan kesimpulan yang sebenarnya, “Hmmm... tau ah! pulang dulu ya,” Aku
melanjutkan langkahku menuju rumah. Kali ini aku berlari.
“Kamu gak bareng
sama aku aja?”
“Enggak!”
Suasana hatiku
silih berganti menjadi sedingin salju yang mendekapku dalam malam. Aku menunduk
merasa kesepian di tengah kesibukkan orang-orang yang sedang menikmati musim
salju sepulang kerja. Tak apa, sesakit apapun itu. Aku bukanlah yang terburuk,
aku mengatakan apa yang kurasakan. Itu yang terbaik.
....
Keesokan harinya.
"Pagi
Jimin-ah!!!" Aku duduk di samping sosok yang sedang mengerjakan tugas.
"...." Diam seribu bahasa. Itulah jawabannya.
"Jimin... kau
sehat hari ini?" Ia tak melirik ke arahku sedikit pun. Rupanya wajahku ini
sangat buram baginya.
"Kenapa kau
berubah? Kau tak menoleh sedikit pun kepadaku. Jangan begini, ada banyak hal
yang ingin kulakukan denganmu." Mendengar kata-kataku yang mungkin hanya
bualan tak penuh arti baginya, ia pun beranjak pergi.
"Hey hey! Kau
ini kenapa? Bahkan seorang sahabat yang sedang marah dengan sahabatnya sendiri
akan menahan rasa sakit itu. Ia tetap rela berbincang bersama." Aku
menatapnya yakin. Ia masih tak melihatku. Ia malah menerobosku. Aku berbalik ke
arah jalannya yang menuju ke bangku Joy. Gadis yang pernah ia suka. Ku pikir,
waktu itu ia tak menganggapku sebagai seorang sahabat. Lalu apa?
"Jimin. Naman
barabwa!" Aku menatapnya tajam.
"Sebenarnya
kau anggap aku ini apa? Pelampiasan? Teman? Musuh? Atau adik perempuan temanmu
yang sudah mati?" Aku menarik nafas dalam-dalam.
"Aku tak
pernah bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin tau kau menyukaiku atau tidak
dengan cara membuatmu kesal berkali-kali. Dan ternyata, kau marah. Aku sudah
tau jawabannya." Aku berbalik pergi membawa luka. Mataku berkaca-kaca. Aku
menutup lubang telingaku dengan headset. Kala masih pagi itu, aku kembali
bertingkah seolah tak terjadi apapun. Aku tak ingin teman-temanku tahu secepat
itu. Tetapi aku jamin, mereka semua akan tahu. Apalagi jika Jimin berusaha
menyakiti sahabatku.
Hingga akhir pelajaran,
kita masih saling diam. Akhirnya, aku meminta maaf padanya lewat sebuah pesan.
"Jimin-a! Kau
marah padaku? Maafkan aku. Aku memang menyebalkan. Sekali lagi, maafkan aku.
Josonghamnida."
Aku mengirim pesan
itu kepada Jimin.
1 jam kemudian.
Ia belum membalas
pesanku. Padahal ia sudah membaca pesanku. Sungguh, aku khawatir. Rasa ini
seperti ingin tau mengapa ia bersikap begitu dingin kepadaku. Tetapi ya sudah,
aku telah berusaha minta maaf. Ia memaafkan atau tidak, itu haknya.
....
Seminggu kemudian.
Masalahku dengan Jimin, sudah bisa ku handle dengan mudah. Meski kita belum
bicara sejak kejadian itu, aku tak boleh goyah.
“Pagi GUYS!!!
Heh.... tadi ... huh... ada....” Taehyung bernafas tersengal-sengal.
“Ada apa? Atur
nafasmu dulu gih!” Aku duduk di dekatnya menunggu cerita darinya.
“GAWAT BOS!”
Hyerin yang baru masuk ke kelas tiba-tiba panik seketika.
“Ada apa? Laporkan
saja!” Aku mendengar semua cerita dari mereka.
“APA?????????”
Mataku membulat sempurna. Bola mataku terus beputar.
Dengan secepat
kilat, aku menyambar menuju ke depan mading. Menerobos sekuruman orang yang
sibuk berbisik disana. Yang benar saja, aku difitnah. Sebuah gambar HOT
terpampang jelas dengan ukuran HD ditambah filternya yang jelas. Title berita
itu, ‘Seorang gadis menebar ciuman kepada seorang sahabat lelakinya,
ditoleransi atau dibinasakan saja?’
Kakiku lemas. Aku
mengambil lembar berita itu lalu ku robek sekuat tenaga.
....
“uh! Sepertinya
ada binatang yang masuk ke dalam mataku." Aku mengeluh karena ada yang
tidak beres di mataku.
"Huhuhu..."
"Kenapa?"
Jungkook yang baru datang selepas latihan basket itu duduk di bangku sebelahku,
di dalam kelas.
"Lihatlah
aku." Jungkook memegang kedua pipiku.
"Mwo? Apa
matamu sudah tidak berfungsi? Atau sedang tidak beres seperti yang ku rasakan
ini, huh? Kenapa kau tak bisa melihat kalau aku sedang kesakitan?" Aku
masih menggosok kedua mataku.
"Hey, hey...
matamu yang sebelah kiri merah sekali."
"Uh!
Jinjja?"
Aku membiarkan
Jungkook meniup mataku.
"Aww!"
Teriakku ketika Jungkook terpeleset setelah bangkit dari bangkunya sejenak.
Jungkook menopang tubuhku ikut terjatuh karena dibebani oleh gaya yang ia kenai
ke arahku.
"Hey,
Jungkook-ah... apa yang sedang kau lakukan?"
Ia masih terdiam.
"Kau bangun
sekarang atau aku yang bangun lebih dulu?" Aku menjadi panik sendiri.
Lelaki ini tak tahu diuntung rupanya.
"Berhubung
kita sudah terjebak dalam situasi seperti ini. Lebih baik kita lakukan
saja,"
Aku melihat
wajahnya semakin dekat, dekat, dan.....
"Hah!!!!"
Aku mendorongnya
tubuhnya dan membuatnya terjatuh.
"Mianhae....
aku tidak semurah yang kau kira. Aku tidak bisa melakukannya dengan cara
sepertu itu."
...
Aku memggigit jari
di depan sahabat-sahabatku.
"Bos!!! Aku
tahu kalau disini kau pemimpin kami, tapi kenapa kau harus melakukan itu?"
Hyerin memberontak. Ia takut jika kejadian itu membuat kami diusir dari
sekolah. Aku hanya menggeleng.
"Hey, Hyerin.
Yuju sudah menceritakan urutan skenarionya. Kau ini tidak percaya atau tidak
bisa memahami kata-kata Yuju tadi?" Taehyung membelaku. Aku kembali
menggeleng.
"Iya, Bos.
bagaimana kalau kita dikembalikan ke panti asuhan. Kaulah yang membopong kami
ke sekolah ini. Lakukan sesuatu, Bos!" Lisa ikut ketakutan.
Aku bangkit dari
tempatku, "Hey! Apa itu penting? Aku pasti akan menemukan pelakunya. Aku
pasti bisa membersihkan nama komunitas kecil kita. Team Coaster!" Aku
tertawa lepas. Namun, di dalam hatiku menahan semua amarah yang ingin ku
muntahkan.
"Besok kita
ikut festival seni. Pikirkan itu saja, ayo kita latihan dan menangkan hadiah
uangnya."
Aku menyalakan
musik, memegang mikrofon, akan bernyanyi. Tetapi mereka masih tertunduk diam.
Aku memandangnya heran. Termenung sejenak. Aku sungguh ingin menjaga mereka,
sungguh ingin sukses bersama mereka.
To Be Continue
Chapter
3----PLAYING WITH FIRE