.................................................................

.................................................................

Jumat, 25 November 2016

Fanfiction Confession cast Yuju-Jimin Chapter 2 L(one)ly



Fanfiction

Title : Confession
Author : Jung Rae Ah
Genre : Romance, Family
Length : Multichapter
Cast : Yuju ‘G-Friend’, Jimin ‘BTS’, Kai ‘EXO’
Rating : Teen
Disclaimer : FF ini hanya imajinasi belaka. Author juga tidak bermaksud mencouple-kan cast di dalam cerita ini. Harap menyertakan nama author *Eaaa..* atau credit jika copas. Sebagian cerita terinspirasi dari beberapa K-Drama, jadi harap maklum jika menemui alur yang hampir mirip.
Happy Reading
Hope You Enjoy It!
Confession
CHAPTER 2---L(ONE)LY

Benar. Ada tempat dimana aku mengingat semuanya. Ketika aku membuat sebuah puisi untuknya,
“Aku hanya gadis lain
Bukan karena melodi kesepian ini mengalun sepanjang pembuluh darahku
Tetapi juga otakku, memerintah agar aku berhenti memikirkanmu
LUPA! Apakah itu bakatmu?
Bara cinta ini belum padam
Hatiku terluka, memar
Kembalilah! Ke dunia kita bersama-sama”
...
"Sudah sampai." Ia mengembangkan senyumnya lagi. Tetapi aku terdiam, terpatung di tempatku.
"Waeyo? Kenapa kau tidak langsung pergi sebelum yang lain melihatmu?"
Aku menyerahkan selembar kertas. "Ini nota total biaya pizza. Aku tidak akan pergi sebelum kau membayarnya." Ujarku tegas. Ia tertawa lepas. Kali ini ia membayarnya langsung sambil mengenalkan dirinya.
"Ini uangnya. Dan kenalkan, namaku Kim Jong In. Panggil saja Kai." Ia mengajak bersalaman.
"Tak usah berlebihan. Aku Yuju siswi kelas dua SMA." Aku membungkuk sejenak. Kai memainkan bola matanya. Menatapku seteduh bayang-bayang pohon di siang hari.
"Kenapa? Apa ada yang salah denganku?" Aku menjadi salah tingkah. Lelaki ini memang tampan.
"Haha... aniya... hanya saja, kau cantik. Sangat cantik." Kali ini ia menatapku dalam.
"Hey, sudah pergilah! Aku tidak akan terburu-buru seperti mereka yang ada di dalam sana. Apalagi karena melihatmu. Aku jadi tidak ingin melakukan apapun." Aku jadi salah tingkah, aku menggeleng dengan cepat lalu beranjak menuju alamat selanjutnya.
"Yuju-sshi! Aku belum mengucapkan terima kasih."
Aku berhenti sejenak. Ingin kembali rasanya, tetapi tampaknya ia bukan lelaki yang meyakinkan.
...
Malam ini, aku mengunjungi ayah sebelum pukul 9 malam. Sudah lama aku menahan rindu ingin bertemu dengan ayah. Aku percaya, ayah baik-baik saja disana.
“Ayah, sudah lama tak bertemu.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Menahan isak tangis yang ingin keluar. Tetapi tampak, air mata ayah keluar lebih dulu.
“Appa... Jangan... jangan menangis. Ayah tak perlu takut,” aku menyentuh dinding transparan pembatas ruang kami.
“Ayah hanya terharu melihatmu sudah besar. Jangan lupakan ayah, Yuju. Ayah mencintaimu. Meski kita jauh, ayah tetap selalu mendo’akanmu.”
Aku tersenyum tipis, “Jangan menunduk ayah. Ayah harus mendongak agar cahaya tidak semakin menjauh. Aku juga akan melakukan apapun untuk mebebaskan ayah. Terkadang, terlalu membosankan, juga terlalu menyedihkan hidup sendirian di rumah.”
Suasana hening sejenak. Aku memikirkan bagaimana perasaanku jika ayah adalah aku, maka dari itu aku ingin menggunakan keberanianku untuk membantu orang lain.
“Ayah, sebentar lagi jam akhir kerja disini akan berakhir. Dan sebelum aku pergi, aku mempunyai satu permintaan,” Aku mengeluarkan sebuah lukisan yang kubuat, “Aku ingin ayah berjanji akan baik-baik saja sampai aku mengajukan sidang ulang nanti. Untuk ayah.” Ayah hanya mengangguk. Air matanya mengalir lebih deras, sederas arus air terjun. Aku menunjukkan lukisan yang kubuat itu. Sebuah lukian yang nampak seorang ayah dan putrinya yang sedang tersenyum bersama.
"Maafkan ayah. Ayah memang bersalah. Maafkan ayah. Maafkan ayah," Gumam ayah lirih.
“Appa.... Giokhaeyo! Nareul saranghaeyo! Jeongmal gomawoyo.”
Waktu seolah menutup pintu kebahagiaan kami. Tak lama, ayah diseret masuk ke dalam sel tahanan. Senyum yang datang, kembali pergi tanpa ijin. Hatiku remuk, rasanya ingin aku masuk ke sana agar bisa menjaganya. Kuberikan senyum dan sebuah kepalan tangan pertanda semangat. Aku ingin di usia lansianya, ayah bisa menghabiskan waktu bersama anak-anaknya. Penuh dalam kedamaian, bukan dalam penjara gila ini.
...
Sepanjang hamparan jalan menuju rumah, aku membuka ponsel sambil membaca materi ulangan besok. Berjalan tenang sambil mengerjakan banyak hal, itulah kemampuan hebatku. Orang sering menyebutnya multitasking, namun aku langka. Istilah kerennya ‘LIMITTED EDITION’.
“Yuju-ya!!!” Suara Umji menggema seketika. Ia tampak baru keluar dari mall.
“Kau dari mana? Mengapa baru pulang?” Aku berhenti sejenak sambil menghitung perkiraan gajiku bulan ini di ponselku. Ia lalu menata ulang objek shoppingnya.
“Aku tidak tahu. Ada banyak hal yang ku kerjakan hari ini,” aku menatap teduh sosok yang mengajakku berbicara. Namun, tanganku masih memencet tuts keyboard, otakku berusaha menyimpan materi yang baru ku baca.
"Kau ini! Kerjakan pekerjaanmu satu per satu. Kamu gak takut kena alzheimer?" Aku menggeleng. "Tidak." Jawabku innocent.
Ia menggigit bibir bawahnya, sambil menatap ke arah atas sambil memiringkan kepalanya. Pertanda ia sedang berfikir keras.
“Ngomong-ngomong, banyak hal yang kau lakukan itu bukan termasuk kencan dengan Jimin kan?” Umji mengucap kalimatnya dengan semangat. Aku menjawab sekedarnya,
“Ku pikir dia sahabatku. Dia sangat baik, tetapi aku membuatnya sedih sejak tadi siang.” Aku mengangguk seolah menemukan kesimpulan yang sebenarnya,  “Hmmm... tau ah! pulang dulu ya,” Aku melanjutkan langkahku menuju rumah. Kali ini aku berlari.
“Kamu gak bareng sama aku aja?”
“Enggak!”
Suasana hatiku silih berganti menjadi sedingin salju yang mendekapku dalam malam. Aku menunduk merasa kesepian di tengah kesibukkan orang-orang yang sedang menikmati musim salju sepulang kerja. Tak apa, sesakit apapun itu. Aku bukanlah yang terburuk, aku mengatakan apa yang kurasakan. Itu yang terbaik.
....
Keesokan harinya.
"Pagi Jimin-ah!!!" Aku duduk di samping sosok yang sedang mengerjakan tugas.
"...."  Diam seribu bahasa. Itulah jawabannya.
"Jimin... kau sehat hari ini?" Ia tak melirik ke arahku sedikit pun. Rupanya wajahku ini sangat buram baginya.
"Kenapa kau berubah? Kau tak menoleh sedikit pun kepadaku. Jangan begini, ada banyak hal yang ingin kulakukan denganmu." Mendengar kata-kataku yang mungkin hanya bualan tak penuh arti baginya, ia pun beranjak pergi.
"Hey hey! Kau ini kenapa? Bahkan seorang sahabat yang sedang marah dengan sahabatnya sendiri akan menahan rasa sakit itu. Ia tetap rela berbincang bersama." Aku menatapnya yakin. Ia masih tak melihatku. Ia malah menerobosku. Aku berbalik ke arah jalannya yang menuju ke bangku Joy. Gadis yang pernah ia suka. Ku pikir, waktu itu ia tak menganggapku sebagai seorang sahabat. Lalu apa?
"Jimin. Naman barabwa!" Aku menatapnya tajam.
"Sebenarnya kau anggap aku ini apa? Pelampiasan? Teman? Musuh? Atau adik perempuan temanmu yang sudah mati?" Aku menarik nafas dalam-dalam.
"Aku tak pernah bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin tau kau menyukaiku atau tidak dengan cara membuatmu kesal berkali-kali. Dan ternyata, kau marah. Aku sudah tau jawabannya." Aku berbalik pergi membawa luka. Mataku berkaca-kaca. Aku menutup lubang telingaku dengan headset. Kala masih pagi itu, aku kembali bertingkah seolah tak terjadi apapun. Aku tak ingin teman-temanku tahu secepat itu. Tetapi aku jamin, mereka semua akan tahu. Apalagi jika Jimin berusaha menyakiti sahabatku.
Hingga akhir pelajaran, kita masih saling diam. Akhirnya, aku meminta maaf padanya lewat sebuah pesan.
"Jimin-a! Kau marah padaku? Maafkan aku. Aku memang menyebalkan. Sekali lagi, maafkan aku. Josonghamnida."
Aku mengirim pesan itu kepada Jimin.
1 jam kemudian.
Ia belum membalas pesanku. Padahal ia sudah membaca pesanku. Sungguh, aku khawatir. Rasa ini seperti ingin tau mengapa ia bersikap begitu dingin kepadaku. Tetapi ya sudah, aku telah berusaha minta maaf. Ia memaafkan atau tidak, itu haknya.
....
Seminggu kemudian. Masalahku dengan Jimin, sudah bisa ku handle dengan mudah. Meski kita belum bicara sejak kejadian itu, aku tak boleh goyah.
“Pagi GUYS!!! Heh.... tadi ... huh... ada....” Taehyung bernafas tersengal-sengal.
“Ada apa? Atur nafasmu dulu gih!” Aku duduk di dekatnya menunggu cerita darinya.
“GAWAT BOS!” Hyerin yang baru masuk ke kelas tiba-tiba panik seketika.
“Ada apa? Laporkan saja!” Aku mendengar semua cerita dari mereka.
“APA?????????” Mataku membulat sempurna. Bola mataku terus beputar.
Dengan secepat kilat, aku menyambar menuju ke depan mading. Menerobos sekuruman orang yang sibuk berbisik disana. Yang benar saja, aku difitnah. Sebuah gambar HOT terpampang jelas dengan ukuran HD ditambah filternya yang jelas. Title berita itu, ‘Seorang gadis menebar ciuman kepada seorang sahabat lelakinya, ditoleransi atau dibinasakan saja?’
Kakiku lemas. Aku mengambil lembar berita itu lalu ku robek sekuat tenaga.
....
“uh! Sepertinya ada binatang yang masuk ke dalam mataku." Aku mengeluh karena ada yang tidak beres di mataku.
"Huhuhu..."
"Kenapa?" Jungkook yang baru datang selepas latihan basket itu duduk di bangku sebelahku, di dalam kelas.
"Lihatlah aku." Jungkook memegang kedua pipiku.
"Mwo? Apa matamu sudah tidak berfungsi? Atau sedang tidak beres seperti yang ku rasakan ini, huh? Kenapa kau tak bisa melihat kalau aku sedang kesakitan?" Aku masih menggosok kedua mataku.
"Hey, hey... matamu yang sebelah kiri merah sekali."
"Uh! Jinjja?"
Aku membiarkan Jungkook meniup mataku.
"Aww!" Teriakku ketika Jungkook terpeleset setelah bangkit dari bangkunya sejenak. Jungkook menopang tubuhku ikut terjatuh karena dibebani oleh gaya yang ia kenai ke arahku.
"Hey, Jungkook-ah... apa yang sedang kau lakukan?"
Ia masih terdiam.
"Kau bangun sekarang atau aku yang bangun lebih dulu?" Aku menjadi panik sendiri. Lelaki ini tak tahu diuntung rupanya.
"Berhubung kita sudah terjebak dalam situasi seperti ini. Lebih baik kita lakukan saja,"
Aku melihat wajahnya semakin dekat, dekat, dan.....
"Hah!!!!"
Aku mendorongnya tubuhnya dan membuatnya terjatuh.
"Mianhae.... aku tidak semurah yang kau kira. Aku tidak bisa melakukannya dengan cara sepertu itu."
...
Aku memggigit jari di depan sahabat-sahabatku.
"Bos!!! Aku tahu kalau disini kau pemimpin kami, tapi kenapa kau harus melakukan itu?" Hyerin memberontak. Ia takut jika kejadian itu membuat kami diusir dari sekolah. Aku hanya menggeleng.
"Hey, Hyerin. Yuju sudah menceritakan urutan skenarionya. Kau ini tidak percaya atau tidak bisa memahami kata-kata Yuju tadi?" Taehyung membelaku. Aku kembali menggeleng.
"Iya, Bos. bagaimana kalau kita dikembalikan ke panti asuhan. Kaulah yang membopong kami ke sekolah ini. Lakukan sesuatu, Bos!" Lisa ikut ketakutan.
Aku bangkit dari tempatku, "Hey! Apa itu penting? Aku pasti akan menemukan pelakunya. Aku pasti bisa membersihkan nama komunitas kecil kita. Team Coaster!" Aku tertawa lepas. Namun, di dalam hatiku menahan semua amarah yang ingin ku muntahkan.
"Besok kita ikut festival seni. Pikirkan itu saja, ayo kita latihan dan menangkan hadiah uangnya."
Aku menyalakan musik, memegang mikrofon, akan bernyanyi. Tetapi mereka masih tertunduk diam. Aku memandangnya heran. Termenung sejenak. Aku sungguh ingin menjaga mereka, sungguh ingin sukses bersama mereka.
To Be Continue
Chapter 3----PLAYING WITH FIRE

Rabu, 16 November 2016

Fanfiction CONFESSION [Yuju Gfriend (cast)] Chapter 1



Fanfiction

Title : Confession

Author : Jung Rae Ah

Length : Multichapter

Cast : Yuju ‘G-Friend’, Jimin ‘BTS’, Kai ‘EXO’

Disclaimer : FF ini hanya imajinasi belaka. Author juga masih amatir. Dalam FF ini author tidak bermaksud mencouple-kan cast di dalam cerita ini. Harap menyertakan nama author *Eaaa..* atau credit jika copas. Sebagian cerita terinspirasi dari beberapa K-Drama, jadi harap maklum jika menemui alur yang hampir mirip.

Happy Reading

Hoper You Enjoy It!

Confession
Chapter 1 --- My Heart Speaks

Tanganku gemetar. Peluh membasahi tubuhku. Dadaku berguncang hebat seolah dikendalikan oleh sorotan mata yang terus memfokuskan obyeknya ke arahku. 

3....
2....
1....

“Ehem... Apa yang sedang kau pikirkan?” Tanyaku nanar
“Aku hanya melihatmu,” Jawabnya enteng. Sosok itu memandangkanku lebih lekat.
“Aishh!” Desahku sambil memalingkan wajah darinya.
“Yuju-ya! Kau paham atau tidak maksudku tadi?” Tanyanya dengan suara meninggi.
“Sebenarnya ada yang ingin ku katakan padamu. Kau sudah tiga kali bercerita padaku tentang hal itu dan aku sudah memberimu solusi sebanyak yang kau mau. Tapi kau masih saja membututiku, waeyo? Apa kau menyukaiku?” otakku bagai tersambar petir. Aku tidak tahu bagaimana bisa kata-kata brilian itu keluar dari bibirku, hah!
“Heh! Apa maksudmu? Aku juga sudah mengatakan kalau....”
Belum selesai ia berbicara, aku memotong kalimatnya.
“Aku mohon. Berhentilah mengikutiku.” Terangku blak-blakan.
Ia menunduk kesal.
“kita kan teman. Karena itu, kau harus bisa memahami kondisiku. Kalau kau masih tidak peka, aku yang akan pergi. Dan aku katakan saja kalau kau tidak peka. Aku sibuk. Aku lelah! Bagiku, seorang ayah lebih penting daripada dirimu. Aku harus menjaga ayahku.”
Aku beranjak pergi dengan mengayuh pedal sepeda lebih cepat. Aku sempat mencuri pandangan ke arah sosok yang terhenti di depan gerbang sekolah itu. Lelaki yang bernama Jimin itu masih terenung, menundukkan kepalanya. Rindu rasanya, tetapi aku tidak peduli. Sebesar apapun rasa itu, aku harus menikam diriku. Karena disetiap saat rasa itu datang, aku harus mengubur dalam-dalam perasaan yang menjadi hakku.
♡♡♡
Brusss
Salju menyiram Seoul di tengah keramaian. Orang-orang yang berlalu lalang mengisi kelengangan kota ibarat bunga yang dijatuhi embun dengan efek yang berbeda. Termasuk aku. Mungkin tak sepantasnya anak SMA sepertiku mengambil banyak kerjaan sambilan.
"Appa... ddeonajima. Bertahanlah sampai kau bisa melihatku menjadi pengacara. Aku akan membersihkan namamu. Jadi, tetaplah hidup." Air mata memenuhi seluruh bidang di pipiku.
Aku menangis dalam diam, di depan toko pizza. Lelah ini membuat kaki kecilku ingin berhenti melangkah, tapi itulah musuhku. Aku masuk ke dalam dan mulai bekerja.
"Cogiyooo..." Sapaku setelah melewati mulut pintu.
"Ya! JENIUS, kau datang terlalu awal. Kau ingin gajimu dipotong, huh?" Ujar Hyerin sambil tertawa padaku.
"Mianhae, hari ini aku ada urusan. Makanya telat." Cengkerama darinya memang membuatku tersipu malu.
"Pasti urusan dengan namchimu itu, kan?" Hyerin membuka titik bifurkasi perbincangan hangat ini.
Bagaimana aku menjawabnya? Aku hanya berteman dengan si dia, tetapi fakta jika hubungan pertemanan ini lebih dekat dari siapapun. Lalu apa itu namanya? Mulutku terbungkam.
"Eh! Mianhae... Aku akan mengantar pesanan dulu, kau bisa mengambil daftar pesanannya di tempat biasa." Hyerin menghilangkan bayangnya dalam sekerjap. Aku mengangguk mengerti.
Dengan memakai seragam SMA ditambah balutan jaket tebal, aku berangkat mengantar pizza. Menyirgap awan sedingin salju di kala sore. Pintu hatiku terketuk, saat mengantar pizza ke salah satu alamat.
"Bukankah ini club malam? Club illegal itu?" Tanyaku dalam hati
Aku masuk ke dalam bangunan besar itu. Lengah. Kesunyian menghiasi space yang mungkin tak berarti bagiku. Aku teringat akan suatu hal. Ketika ayahku divonis hukuman mati oleh hakim agung. Ketika pengacara brengsek itu menghianati kami.
♡♡♡
Flashback
Perasaan di sidang terakhir memang tak bisa dikalahkan oleh apapun. Bagaimana keadilan muncul di depanku, aku hanya ingin ia hadir bersama kebenaran.
"Andwe!!! Ayahku tidak melakukan tindakan yang salah. Ayahku tidak memanipulasi tubuh Eunha. Lee Min Ah! Dialah yang membunuh adiknya sendiri." Aku berteriak tanpa sabar di akhir sidang, ketika hakim memukul palunya diatas panggung keadilan.
"Andweeee!!!" Aku semakin histeris. Mataku tak bisa berkedip melihat ayahku yang ketakutan disana. Air mataku teras panas. Terbirit-birit ingin mengucur. Aku berlari menuju meja yang bertuliskan 'terdakwa' itu.
 Ayahku berteriak ketika sekurumunan massa memaksaku keluar dari ruang persidangan.
"Yuju! Pulanglah... ayah baik-baik saja,"  aku melihat tetesan air mata jatuh dari ujung mata ayah.
"Sirheo... naneun sirheo! Appa.. ada banyak hal yang ingin ku lakukan denganmu, jangan seperti ini." Aku berusaha meraih tangan ayahku.
"Hiduplah dengan baik, dan juga benar. Buat ayah bangga ketika ayah keluar dari sel tahanan." Ayahku diseret masuk ke dalam. Wajahnya semakin runyam, lalu menghilang.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat sempurna di wajah pria itu. Pria yang telah melecehkan harga diri kami.
"Kau ini tidak pantas menjadi pengacara." Mataku membulat marah. Hatiku terbakar, remuk, tak karuan.
"Yuju-ya! Masih banyak orang tak bersalah dipenjara. Kau polos sekali," ucapnya acuh
"Brengsek! Kalau bukan karena orang sepertimu menghianati kami, orang tak bersalah tak akan masuk penjara." Aku menangis sekeras mungkin.
"Aku ingin kau tahu betapa sulitnya orang seperti kami bertahan hidup, tapi kau malah menghancurkan semuanya." Aku menarik kerah kemeja pria itu.
Pengacara itu melepas cengkraman tanganku dengan pelan. "Jadilah pengacara, dan selamatkan ayahmu sebelum eksekusi nanti."
"Mwo?"
Ia lalu pergi dan membiarkanku menangis seorang diri.
♡♡♡
 Aku berdecak kesal. Pasalnya, kenangan itu masih teringat jelas dalam memoriku dan membuatku ingin membalas semuanya. Aku mengetuk pintu dan...
Brak!
Pintu itu terbuka. Alunan musik bergaya eropa mulai terdengar.
"Ternyata tempat ini lebih ramai dari yang ku kira." Usikku dalam hati.
Disinilah mayat Eunha ditemukan. Aku tidak ingat betul, tetapi saat itu ayahku hanya lewat di depan tempat ini. Lalu diajak masuk oleh seseorang dan adakadabra! Ayahku dituduh membunuh gadis malang itu.
"Ini dia. Pizza kita sudah datang." Seseorang bersorak bahagia melihatku.
"Nde. Total pesanan Anda...." Aku mengecek total biayanya.
"Stop! Sepertinya kau..." Salah seorang lelaki mendekatiku, melepas helmku.
"Hey! Apa yang kau lakukan?" Sentakku.
"Gadis ini masih SMA." Lelaki itu bergumam. Bulu kudukku berdiri tegak. Lelaki itu melepas kancing kemejanya, hal itu membuat mataku terbelalak.
Aku berlari keluar sambil berusaha mengeluarkan ponselku.
"Hey! Kau tidak bisa keluar dari sini." Salah seorang ternyata memblokade jalanku dari arah yang tak ku duga.
'Oh.. aku dijebak' Pikirku. Aku menghubungi Jimin.
"Ayolah angkat teleponku. Jimin.... hiks..." Tetapi Jimin malah me-reject panggilanku. Eottohkae?
Aku mencari celah, berbelok ke arah lain. Aku terus berlari. Semakin jauh aku berlari, semakin aku terjebak. Ada sosok lain yang muncul dari arah berlainan.
"Kemarilah gadis kecil! Ayo kita bermain. Aku senang, kau pun senang. Hahaha."
Oh tidak. Suara itu membuat nafasku semakin tersengal-sengal. Rasanya seperti tidak ada oksigen yang masuk ke dalam sistem pernafasanku.
Tiba-tiba, ada seseorang yang memelukku dari belakang. Lalu mengekang kedua tanganku.
"Hey! Apa yang kau lakukan." Aku memberontak dari pelukan sosok itu. Tetapi ia semakin mencengkeram tubuhku.
"Dia milikku. Pergilah." Pria itu dengan mudah kembali.
Perlahan lelaki itu melemaskan pelukannya. Ia menatapku heran, aku membalasnya dengan tatapan kikuk.
"Bagimana kau bisa sampai disini? Ayo ikut aku keluar dari sini."
"Tidak mau."
"Sudahlah, jangan keras kepala." Ia pun menggandeng tanganku.
"Dasar tuli!" Ocehku. Dia berhenti melangkah. Aku masih belum bisa me-recover sel tubuhku yang serasa hancur setelah adegan tadi.
"Aku tidak percaya dengan lelaki sepertimu. Tidak akan."
Ia berbalik sambil membaca papan namaku.
"Benar, namamu Yuju. Ngomong-ngomong, aku tidak terlalu tua darimu. Aku juga pernah melihatmu menangis saat sidang setahun yang lalu, maka dari itu aku menyelamatkanmu hari ini."
Ia seolah berubah menjadi pribadi yang lain. Siapa dia yang telah mengetahui masalah keluargaku?
"Nugu seyo?" Aku menyipitkan mataku.
"Aku akan memberitahumu setelah memastikan kau keluar dari sini dengan selamat."
Ia kembali menggandengku.
"Jangan menyentuhku." Reflekku ketakutan.
Ia tersenyum. Kali ini, senyumnya terasa manis di mataku. "Oh, maaf. Aku tidak akan mengulanginya, oke?"
Dengan santai, ia menunjukkan lorong demi lorong menuju pintu keluar. Rasanya ada sesuatu yang menemaniku di jalan sepi ini. Bukan lelaki itu, tetapi semacam perasaan khawatir mengingat Jimin tak mengangkat teleponku.

To Be continue.... CHAPTER 2-L(ONE)LY

Soshi One

Soshi One