Fanfiction
Title : Confession
Author : Jung Rae
Ah
Length :
Multichapter
Cast : Yuju
‘G-Friend’, Jimin ‘BTS’, Kai ‘EXO’
Disclaimer : FF
ini hanya imajinasi belaka. Author juga masih amatir. Dalam FF ini author tidak bermaksud mencouple-kan cast di
dalam cerita ini. Harap menyertakan nama author *Eaaa..* atau credit jika
copas. Sebagian cerita terinspirasi dari beberapa K-Drama, jadi harap maklum
jika menemui alur yang hampir mirip.
Happy Reading
Hoper You Enjoy It!
Confession
Chapter 1 --- My Heart Speaks
Tanganku gemetar.
Peluh membasahi tubuhku. Dadaku berguncang hebat seolah dikendalikan oleh
sorotan mata yang terus memfokuskan obyeknya ke arahku.
3....
2....
1....
“Ehem... Apa yang
sedang kau pikirkan?” Tanyaku nanar
“Aku hanya
melihatmu,” Jawabnya enteng. Sosok itu memandangkanku lebih lekat.
“Aishh!” Desahku
sambil memalingkan wajah darinya.
“Yuju-ya! Kau
paham atau tidak maksudku tadi?” Tanyanya dengan suara meninggi.
“Sebenarnya ada
yang ingin ku katakan padamu. Kau sudah tiga kali bercerita padaku tentang hal
itu dan aku sudah memberimu solusi sebanyak yang kau mau. Tapi kau masih saja
membututiku, waeyo? Apa kau menyukaiku?” otakku bagai tersambar petir. Aku
tidak tahu bagaimana bisa kata-kata brilian itu keluar dari bibirku, hah!
“Heh! Apa
maksudmu? Aku juga sudah mengatakan kalau....”
Belum selesai ia
berbicara, aku memotong kalimatnya.
“Aku mohon.
Berhentilah mengikutiku.” Terangku blak-blakan.
Ia menunduk kesal.
“kita kan teman.
Karena itu, kau harus bisa memahami kondisiku. Kalau kau masih tidak peka, aku
yang akan pergi. Dan aku katakan saja kalau kau tidak peka. Aku sibuk. Aku
lelah! Bagiku, seorang ayah lebih penting daripada dirimu. Aku harus menjaga
ayahku.”
Aku beranjak pergi
dengan mengayuh pedal sepeda lebih cepat. Aku sempat mencuri pandangan ke arah
sosok yang terhenti di depan gerbang sekolah itu. Lelaki yang bernama Jimin itu
masih terenung, menundukkan kepalanya. Rindu rasanya, tetapi aku tidak peduli.
Sebesar apapun rasa itu, aku harus menikam diriku. Karena disetiap saat rasa
itu datang, aku harus mengubur dalam-dalam perasaan yang menjadi hakku.
♡♡♡
Brusss
Salju menyiram
Seoul di tengah keramaian. Orang-orang yang berlalu lalang mengisi kelengangan
kota ibarat bunga yang dijatuhi embun dengan efek yang berbeda. Termasuk aku.
Mungkin tak sepantasnya anak SMA sepertiku mengambil banyak kerjaan sambilan.
"Appa... ddeonajima.
Bertahanlah sampai kau bisa melihatku menjadi pengacara. Aku akan membersihkan
namamu. Jadi, tetaplah hidup." Air mata memenuhi seluruh bidang di pipiku.
Aku menangis dalam
diam, di depan toko pizza. Lelah ini membuat kaki kecilku ingin berhenti
melangkah, tapi itulah musuhku. Aku masuk ke dalam dan mulai bekerja.
"Cogiyooo..."
Sapaku setelah melewati mulut pintu.
"Ya! JENIUS,
kau datang terlalu awal. Kau ingin gajimu dipotong, huh?" Ujar Hyerin
sambil tertawa padaku.
"Mianhae,
hari ini aku ada urusan. Makanya telat." Cengkerama darinya memang
membuatku tersipu malu.
"Pasti urusan
dengan namchimu itu, kan?" Hyerin membuka titik bifurkasi perbincangan
hangat ini.
Bagaimana aku
menjawabnya? Aku hanya berteman dengan si dia, tetapi fakta jika hubungan
pertemanan ini lebih dekat dari siapapun. Lalu apa itu namanya? Mulutku
terbungkam.
"Eh!
Mianhae... Aku akan mengantar pesanan dulu, kau bisa mengambil daftar
pesanannya di tempat biasa." Hyerin menghilangkan bayangnya dalam
sekerjap. Aku mengangguk mengerti.
Dengan memakai
seragam SMA ditambah balutan jaket tebal, aku berangkat mengantar pizza.
Menyirgap awan sedingin salju di kala sore. Pintu hatiku terketuk, saat
mengantar pizza ke salah satu alamat.
"Bukankah ini
club malam? Club illegal itu?" Tanyaku dalam hati
Aku masuk ke dalam
bangunan besar itu. Lengah. Kesunyian menghiasi space yang mungkin tak berarti
bagiku. Aku teringat akan suatu hal. Ketika ayahku divonis hukuman mati oleh
hakim agung. Ketika pengacara brengsek itu menghianati kami.
♡♡♡
Flashback
Perasaan di sidang
terakhir memang tak bisa dikalahkan oleh apapun. Bagaimana keadilan muncul di
depanku, aku hanya ingin ia hadir bersama kebenaran.
"Andwe!!!
Ayahku tidak melakukan tindakan yang salah. Ayahku tidak memanipulasi tubuh
Eunha. Lee Min Ah! Dialah yang membunuh adiknya sendiri." Aku berteriak
tanpa sabar di akhir sidang, ketika hakim memukul palunya diatas panggung
keadilan.
"Andweeee!!!"
Aku semakin histeris. Mataku tak bisa berkedip melihat ayahku yang ketakutan
disana. Air mataku teras panas. Terbirit-birit ingin mengucur. Aku berlari
menuju meja yang bertuliskan 'terdakwa' itu.
Ayahku berteriak ketika sekurumunan massa
memaksaku keluar dari ruang persidangan.
"Yuju!
Pulanglah... ayah baik-baik saja,"
aku melihat tetesan air mata jatuh dari ujung mata ayah.
"Sirheo...
naneun sirheo! Appa.. ada banyak hal yang ingin ku lakukan denganmu, jangan
seperti ini." Aku berusaha meraih tangan ayahku.
"Hiduplah
dengan baik, dan juga benar. Buat ayah bangga ketika ayah keluar dari sel
tahanan." Ayahku diseret masuk ke dalam. Wajahnya semakin runyam, lalu
menghilang.
Plak!
Sebuah tamparan
mendarat sempurna di wajah pria itu. Pria yang telah melecehkan harga diri
kami.
"Kau ini
tidak pantas menjadi pengacara." Mataku membulat marah. Hatiku terbakar,
remuk, tak karuan.
"Yuju-ya!
Masih banyak orang tak bersalah dipenjara. Kau polos sekali," ucapnya acuh
"Brengsek!
Kalau bukan karena orang sepertimu menghianati kami, orang tak bersalah tak
akan masuk penjara." Aku menangis sekeras mungkin.
"Aku ingin
kau tahu betapa sulitnya orang seperti kami bertahan hidup, tapi kau malah
menghancurkan semuanya." Aku menarik kerah kemeja pria itu.
Pengacara itu
melepas cengkraman tanganku dengan pelan. "Jadilah pengacara, dan
selamatkan ayahmu sebelum eksekusi nanti."
"Mwo?"
Ia lalu pergi dan
membiarkanku menangis seorang diri.
♡♡♡
Aku berdecak kesal. Pasalnya, kenangan itu
masih teringat jelas dalam memoriku dan membuatku ingin membalas semuanya. Aku
mengetuk pintu dan...
Brak!
Pintu itu terbuka.
Alunan musik bergaya eropa mulai terdengar.
"Ternyata
tempat ini lebih ramai dari yang ku kira." Usikku dalam hati.
Disinilah mayat
Eunha ditemukan. Aku tidak ingat betul, tetapi saat itu ayahku hanya lewat di
depan tempat ini. Lalu diajak masuk oleh seseorang dan adakadabra! Ayahku
dituduh membunuh gadis malang itu.
"Ini dia.
Pizza kita sudah datang." Seseorang bersorak bahagia melihatku.
"Nde. Total
pesanan Anda...." Aku mengecek total biayanya.
"Stop!
Sepertinya kau..." Salah seorang lelaki mendekatiku, melepas helmku.
"Hey! Apa
yang kau lakukan?" Sentakku.
"Gadis ini
masih SMA." Lelaki itu bergumam. Bulu kudukku berdiri tegak. Lelaki itu
melepas kancing kemejanya, hal itu membuat mataku terbelalak.
Aku berlari keluar
sambil berusaha mengeluarkan ponselku.
"Hey! Kau
tidak bisa keluar dari sini." Salah seorang ternyata memblokade jalanku
dari arah yang tak ku duga.
'Oh.. aku dijebak'
Pikirku. Aku menghubungi Jimin.
"Ayolah
angkat teleponku. Jimin.... hiks..." Tetapi Jimin malah me-reject
panggilanku. Eottohkae?
Aku mencari celah,
berbelok ke arah lain. Aku terus berlari. Semakin jauh aku berlari, semakin aku
terjebak. Ada sosok lain yang muncul dari arah berlainan.
"Kemarilah
gadis kecil! Ayo kita bermain. Aku senang, kau pun senang. Hahaha."
Oh tidak. Suara
itu membuat nafasku semakin tersengal-sengal. Rasanya seperti tidak ada oksigen
yang masuk ke dalam sistem pernafasanku.
Tiba-tiba, ada
seseorang yang memelukku dari belakang. Lalu mengekang kedua tanganku.
"Hey! Apa
yang kau lakukan." Aku memberontak dari pelukan sosok itu. Tetapi ia
semakin mencengkeram tubuhku.
"Dia milikku.
Pergilah." Pria itu dengan mudah kembali.
Perlahan lelaki
itu melemaskan pelukannya. Ia menatapku heran, aku membalasnya dengan tatapan
kikuk.
"Bagimana kau
bisa sampai disini? Ayo ikut aku keluar dari sini."
"Tidak
mau."
"Sudahlah,
jangan keras kepala." Ia pun menggandeng tanganku.
"Dasar
tuli!" Ocehku. Dia berhenti melangkah. Aku masih belum bisa me-recover sel
tubuhku yang serasa hancur setelah adegan tadi.
"Aku tidak
percaya dengan lelaki sepertimu. Tidak akan."
Ia berbalik sambil
membaca papan namaku.
"Benar,
namamu Yuju. Ngomong-ngomong, aku tidak terlalu tua darimu. Aku juga pernah
melihatmu menangis saat sidang setahun yang lalu, maka dari itu aku menyelamatkanmu
hari ini."
Ia seolah berubah
menjadi pribadi yang lain. Siapa dia yang telah mengetahui masalah keluargaku?
"Nugu
seyo?" Aku menyipitkan mataku.
"Aku akan
memberitahumu setelah memastikan kau keluar dari sini dengan selamat."
Ia kembali
menggandengku.
"Jangan
menyentuhku." Reflekku ketakutan.
Ia tersenyum. Kali
ini, senyumnya terasa manis di mataku. "Oh, maaf. Aku tidak akan
mengulanginya, oke?"
Dengan santai, ia
menunjukkan lorong demi lorong menuju pintu keluar. Rasanya ada sesuatu yang
menemaniku di jalan sepi ini. Bukan lelaki itu, tetapi semacam perasaan
khawatir mengingat Jimin tak mengangkat teleponku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar