.................................................................

.................................................................

Jumat, 03 Juni 2016

FanFiction Yuju Gfriend_Ice Flower CHAPTER 3 [Missing You Like Idiot]



Fan Fiction
Title                 : Ice Flower
Author             : Jung Rae Ah (Ayu P.)
Main Cast        : Yuju Gfriend
Other cast         : Yeri Red Velvet, Zelo B.A.P, Suho Exo, SeHun Exo, Minho Shinee, Kim TaeYeon, etc.
Length             : Multi Chapter
Rating             :  Teen
Genre              :  School life, Sad, Romance, Olympiad story, etc.
Disclaimer :
*Cast belong to God and their parents
*This FF is mine. (Fiksi ini berdasarkan imajinasi author. Jika ada kesamaan karakter, cerita, kebudayaan, hal-hal yang tidak sesuai (entah itu cast, alur, latar), dan lain-lain yang terkandung di setiap unsur di dalam cerita ini. Maka, itu semua hanyalah sebuah kebetulan belaka.)
Cr : Ayupuspianingrum129.blogspot.com
A/N : Awas banyak Typo. Maaf kalau kurang seru. ^_^....
2016©Jung Rae Ah(Ayu P.)
CHAPTER 3
Missing You Like Idiot
♡♡♡
---Happy Reading---
Hope You Enjoy It J
♡♡♡
Jangan bertanya padaku MENGAPA? Hanya ketika aku memikirkanmu, disaat itulah aku ingat dan merindukan semua hal darimu
♡♡♡
            Bruuhhh....
            Ku jatuhkan sebuah buku yang ku tenteng sedari tadi. Pupuslah sudah harapanku. Aku memacu langkah menuju sebuah kursi yang tersinggah di depan meja besar yang di belakangnya nampak sosok yang akan menginterogasiku.
“Apa kau pernah menderita sakit mental?” Tanya Minho sambil melepas kacamatanya. Gubrakkk! Kalimat apa yang baru saja ku dengar, hah? Enak saja ia menyelutuk seperti itu. Ia pikir, mungkin aku adalah mantan pasien sakit jiwa.
            “Mianhae.... Aku tadi hanya sedang teringat dengan seseorang.” Aku mengatakan apa adanya walau tampak seperti ada apanya.
            “Oh! Kalau boleh tau, seberapa penting dia bagimu? Dan siapakah dia? Apakah dia salah satu anggota keluargamu? Sahabatmu?” Ia manatap ke dalam mataku. Tatapan misterius yang sembari menyelusuri pikiranku. Kemudian, ia menganggukkan kepalanya sambil mengalihkan pandangan dariku.
“Atau yang paling parah, ia adalah pacar dan atau mantanmu?” Tambahnya lagi.
Mataku terbalalak mendengar ucapan ‘MANTAN’.
“Nde, orang itu adalah mantan pacarku. Sudahlah, dia tidak berguna lagi.” Aku tersendu pasrah, begitu tertekan otakku karena aku terhubung dengan bungkusan manis sinyal-sinyal kenangan dengannya.
“Kalau begitu, maafkan aku. Karena kurasa kau harus melupakannya untuk sementara waktu. Kau tahu kan akibatnya jika kau terus memikirkannya. Seperti hukum Kepler I, kau dan segala materi  di sekitarmu akan terus tertarik ke dalam orbit masalah ini. Apabila hal ini masih berlanjut, pasti kau tahu apa yang akan terjadi setelah itu.” Ungkapnya dengan tatapan sayu. Nada bicaranya seolah berkata bahwa ia tidak ingin aku merasakan luka yang mendalam karena ia pernah merasakannya. Sepertinya begitu.
“Kau benar. Tapi aku belum mampu melupakannya. Dan dengan pembicaraan seperti ini, denganmu, membuatku semakin ingin menangisinya sekarang. bodoh bukan? Aku tidak pernah tahu, mengapa aku merasa sesak disini.” Aku menunjuk ke arah dadaku.
Tak terasa, air mata ini mengalir dari ujung mataku. Dinginnya membasahi pipiku yang memerah sedari tadi. Ah, aku tidak bisa menahannya. Apalagi, Minho selalu mengingatkanku padanya. Tatapannya, senyumnya, sifat antusiasmenya, semuanya. Ini semua benar-benar gila.
“Aku mengerti Yuju. Aku juga sedang merasakan hal yang sama sepertimu.” Ia menundukkan kepala ketika aku mendongak ke arahnya.
“Aku juga sedang merindukan seseorang. Yeaph, seorang gadis pastinya. Entah karena kebetulan atau tidak, ia sangat mirip denganmu. Hanya perlu ku akui bahwa kau memiliki mata yang lebih indah, otak yang cerdas, dan sifat pantang menyerah yang tak kalah dengan kegigihan seorang laki-laki. Kau tahu tidak? Semua itu terpancar dari wajahmu walaupun tingkahmu sedang sangat membosankan dan menyebalkan.”
Aku masih melekatkan mataku ke arahnya. Pembicaraan macam apa ini? Kata-kata yang baru keluar dari bibirnya, membuat air mataku terhapus seketika. Apakah ini semacam mantera?
“Ooh! Aku tidak bermaksud mengutarakan hal diluar area pembicaraan kita. Aku beri tahu, ketika kau ingin melupakan seseorang kau harus membuang jauh-jauh segala hal tentangnya. Termasuk kebaikannya.” Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Aku melolotot kepadanya. Hatiku marah. Egoku tiba-tiba tidak bisa menerima ucapan darinya. Yang tadi bisa ku percaya, sekarang tidak.
“Betapa jahatnya dirimu. Melupakan kebaikan seseorang?”
“Jeballll (tolonglah), jangan membuat seluruh warga negara ini kecewa kepadamu. Berjuanglah untuk apa yang sedang kau perlukan saat ini. Sebuah kemenangan, Yuju. Jangan egois. Kau punya potensi yang sangat hebat. Aku juga tahu ini sakit. Aku sendiri sedang merasakannya. Yang paling sedih adalah ketika kita teringat tentang kebaikannya tetapi kita malah membencinya sekarang. Ya! Melupakannya butuh proses. Tapi kau harus tahu dimana kau meletakkan semua itu. Aku tidak ingin ketika kau sudah berjuang sejauh ini, tapi tak ada yang kau peroleh.” Jelasnya dengan nada kesakitan. Ia benar-benar memohon padaku.
“Aku mohon untuk kali ini saja. Sekali dari tahun ini.” Ia menggenggam tanganku seolah ia menaruh harapannya kepadaku.
“Ku pikir ini semua hanyalah propaganda pintar darimu. Pertama, agar kau tidak dimarahi ketika ada yang kalah. Kedua, supaya aku turut merasakan kepahitan cinta sama yang seperti kau rasakan sekarang. Aku sudah tahu. Dan penjelasanmu tadi seperti rumus luas persegi panjang saja.” Aku mengernyit.
            Ia menghela nafas panjang lalu pindah ke sampingku. Ia masih bisa tersenyum kepadaku. Menyebalkan. Di satu sisi ia senyumnya membuatku berbunga-bunga, di sisi lain ia sangat ingin aku percaya padanya. Huh! Ku buang saja wajahku.
            “Arasseo. Aku tekankan padamu satu hal. Berjanjilah untuk tidak menyerah sebelum impianmu tercapai. Itu saja. aku tidak menyuruhmu meraih sebuah nilai. Karena kemenangan yang ku maksud, kemenangan yang sebenarnya, ialah ketika kau berjuang hingga titik darah penghabisan.”
Minho langsung berkemas kemudian menghilang dariku. Meninggalkan tubuh seorang gadis ini sendirian di sebuah ruang yang lengah. Meski begitu, bayangnya masih menghantui otakku. Aku sadar bahwa mindsetku sedari tadi sangat salah. Aku sudah salah paham dengannya. Ku remas-remas telapak tanganku.
“Nan jeongmal paboya (Aku benar-benar bodoh).” Lirihku pelan. Rasa malu bercampur pilu, seperti itulah asam manis yang sedang menikam jantungku.
Aku masih di ruang ini sendirian. Aku mengusap air mataku sendiri. Uh! Biasanya ada yang peka jika air mataku sedang berguguran, sosok yang bersedia menghapus tetesan air mataku. Nan eotteokhae (aku harus bagaimana)?.
Aku tidak ingin pergi sebelum menyelesaikan satu langkah lebih maju dari teman-temanku lainnya. Aku kembali ke bangku. Menyelesaikan sebuah tugas yang penuh kegagalan. Ya, aku selalu salah memasukkan persamaan ke dalam soal. Aku menoleh ke sampingku. Lengah.
Ku pikir tadi ada sosok yang menemaniku. Yang bisa ku tanyai tentang pertanyaan-pertanyaan ini. Tapi sekarang, hanya udara kosong yang tengah menemaniku. Aku memandang ke sekitarku. Hampa. Hatiku tengah menjerit di dalam dadaku yang masih sesak karena kenangan.
“Naega neomu bogosipeo (I miss you).” Aku melayangkan tatapan kosong ke sela-sela udara di bawah sinar lampu.
“Mengapa kau masih ada di pikiranku? Padahal kau tidak ada disini. Aku berusaha melupakanmu tapi aku malah semakin dekat denganmu. Inikah cinta? Cinta yang bertepuk sebelah tangan.”
Lagi-lagi, aku melupakannya sejenak namun aku malah setapak lebih dekat lagi dengannya. Medan magnet cinta ini telah mengelabuhiku. Jari-jari tanganku yang menggenggam sebuah bolpoin semakin lemah ku rasa.
Aku mencoba mengerjakan sebuah soal tentang fisika inti, tetapi malah stress ku dapat. Aku merindukannya. Itulah penyakit kronis yang ku derita sekarang.
“Kira-kira apa ya obatnya?” aku berdecak kesal.
Eh? Mengapa? Mengapa aku malah mencari hal-hal yang tidak penting sama sekali. Hari ini aku harus berkembang lebih maju dari kemarin. Aku kesini bukan untuk bermanja-manja. Issshhhhh...... AKU HARUS BELAJAR walaupun AKU MENANGIS karena hal sepele yang bisa membunuh semangatku.
Sesekali aku mengerjakan soal, lalu aku teringat padanya. Juga kepada suasana yang pernah ku ukir dengannya. Terkadang aku terbayang akan segudang cerita di ruang kosong ini. Begini rasanya. Ketika kau sedang berusaha melakukan yang terbaik demi masa depanmu, tetapi kau malah ter-blocking oleh sosok yang pernah singgah di hatimu. Pasti kalau aku anak manja, aku tidak mau berusaha mengerjakannya dan mengikuti arus kesedihan. Tetapi aku tidak ingin seperti itu. Aku tidak ingin hanyut ke arah vektor situasi. Aku ingin melawan arus karena aku pikir aku bisa.
Beberapa saat kemudian, Zelo masuk ke dalam ruangan dengan headset yang bertengger di telinganya. Tiba-tiba ia mendekatkan sebuah kursi tepat di sebelahku. Aku meliriknya dingin, ia malah mengembangkan senyum di bibirnya.
Ia pun duduk di sampingku dan menyodoriku beberapa lembar tisu. Aku menyidiknya dengan sinis.
“Kamu butuh apa enggak sih?” Tanyanya greget. Tiba-tiba ia menempelkan lembaran tisu itu ke pipiku yang lebam. Ia menelusuri setiap sudut wajahku yang basah dengan lembaran tipis tisu namun hangat. Aku masih mematung di tempatku. Zelo oh Zelo. Tingkahmu seketika menggetarkan impulsku.
“Kenapa sampe segitunya kamu ngliatin aku? Oh, iya, BTW kamu jangan nangis lagi yah.” Ia mengujar dengan manis. Berbeda dari sebelumnya, sikapnya membuat mulutku menganga lebar hingga membentuk huruf ‘O’.
“Apa urusanmu? Mengapa kau yang tadi dengan yang sekarang sangatlah berbeda?” Tanyaku kikuk. Aku masih melayangkan rasa penasaranku yang tertuju padanya.
Dengan santai, ia membuang peluh dan menatapku teduh. Sangat teduh. Bahkan bola matanya sekejap berubah menjadi sangat indah dan menyilaukan.
“Sejak pertama kali kita bertemu, aku menganggapmu sebagai sahabatku. Jadi, aku tidak perlu menjelaskannya padamu. Kau hanya perlu memercayaiku.” Ia memasang salah satu dari pasangan headsetnya ke telingaku.
“Eh? Kau tidak mendengarkan apapun? Apa ini rusak?” Aku memeriksa headset yang baru ia pasangkan.
“Benar pernyataan pertamamu. Aku tidak sedang mendengarkan apapun dari headset ini.” Ucapnya sambil menunjukkan sambungan headsetnya yang tidak terpasang.
“Oke... bayangkan saja tatanan sebuah melodi yang ingin kau dengarkan. Berimajinasilah dan nikmati saja,”
Kini ia mampu membuatku tersenyum. Tidak gelak tawa, tetapi juga bukan emosional yang tak bermakna. Semua perasaan rindu ini ku biarkan hadir hingga kepalaku merasakan kenyaman akan arus rindu yang memalu sejuta perasaan sakit ini.
TO BE CONTINUE....

Tidak ada komentar:

Soshi One

Soshi One