I’m Not Her
Author : Jung Rae Ah (Ayu P.)
Rating : Teen
Disclaimer
:
*This
Story is Mine
*cr : Ayupuspitaningrum129.blogspot.com
A/N : Awas Typo Campur Aduk, Maaf Kalau Kurang Seru.
^_^
2015©Jung Rae Ah(Ayu P.)
...
...
---Happy Reading---
Hope You Enjoy It
...
...
Jreng jreng
Getaran senar gitar dari petikan
tangan-tangan pengamen itu menggaunggema di pinggir jalan kota yang mulai
gelap. Tak peduli itu tua, muda, cacat, sehat, lelaki, atau perempuan, mereka
rela bernyanyi sambil bergila-gila demi rupiah. Ashh! Rupanya bangsa ini mulai hancur oleh generasi muda. Harga
diri saja mulai diharga kan. Eh? Ya,
belum lagi ditambah dengan maraknya narkoba, seks bebas, dan satu hal yang
paling ku benci, yaitu pacaran belum pada waktunya.
Kali ini aku sedang menghabiskan
liburan di Surabaya. Lebih tepatnya, mencari inspirasi untuk merangkai draft
novel yang harus ku selesaikan. Jadi, aku datang jauh-jauh dari Bogor ke
Surabaya karena keinginanku sendiri. Orang tuaku sudah tau jika aku kesini
sendiri, dan tinggal sementara di rumah sepupuku, Sandy.
“Rhea!!!” Panggil seseorang dari
kejauhan.
Ku layangkan pandanganku ke
segala penjuru jalanan, tetapi aku tak melihat batang hidung sosok yang baru
memanggilku.
“Rhea! Ngapain kamu disini, hah?
Sendirian lagi. Bahaya tau,” Ulas orang itu yang telah berdiri tepat
disampingku. Aku tertegun. Rupanya dia adalah sahabatku, Vesta.
“Eh?”
“Eh, ah, eh! Udahlah, yuk kita cabut sekarang aja yah,” Ajak Vesta
to the point.
Tetapi aku malah masih mematung
di tempatku, di bawah pohon palem yang dihiasi lampu kerlap-kerlip.
“Oi! Sini rek! Aku udah ditunggu sama pacarku,” Gerutu Vesta sambil
menyeretku pergi.
Menyebalkan! Aku sungguh benci dengan logat
sahabatku yang seperti itu. Sudah seminggu ini aku diajaknya kencan, tapi jadi
obat nyamuknya. Namun, aku bisa memanfaatkan situasi untuk untuk menggarap
novelku. Karena aku berharap, saat kelas XI nanti karyaku sudah termuat di
penerbit buku yang terkenal.
Seperti biasanya, pacarnya setia
menunggu di taman Bungkul. Taman terluas se-Asia Tenggara. Wow! Sungguh ramai tempat itu. Desiran angin lembut yang menerpa
wajahku, selalu ku nikmati sampai ke dunia fantasiku.
Disana, aku langsung duduk rapi
di tempat yang tidak jauh dari Vesta dan pacarnya, William. Uh! Apa enaknya pacaran? Cih! Apalagi kita masih labil kan? Lebih
menyenangkan kalau aku menulis saja. Dibilang anti pacaran, tapi terkadang aku
takut kalau mengalami hal yang sama
seperti yang mereka rasakan. Hmm... Falling In Love? Tunggu. Kata-kata ‘falling
in love’ tadi membuat jemariku berhenti menekan tuts-tuts keyboard notebookku.
...
Flashback ON.
4 day ago.
“Hai! Namamu benar Rhea kan?” Sosok
berperawakan gagah itu menghadapku penuh harap.
“Yak! Kenapa? Kamu sendiri Kevin kan?” Aku menjawabnya seolah
menimbun harapan yang terlukis di wajahnya.
“Kok tau?”
Aku hanya mendiamkan pertanyaan
basa-basi itu. Ku buaikan diriku dalam alur cerita yang tengah ku buat. Karena
aku sedang menuju klimaksnya. Mataku menatap lekat-lekat notebookku tanpa memerhatikan
sosok bernama Kevin, sahabat William.
“Nulis lagi ya?” Ia menyelamkan
kepalanya di dekat monitor. Sedangkan aku hanya mengiyakan pertanyaannya. Tak
lama kemudian, sesuatu muncul dalam benakku.
“O, ya. Makasih, karena kamu,
kemarin aku bisa nulis genre romance.
Ah! Thanks banget yaa... aku gak tau
harus ngomong apa lagi.”
“Eh? Masa’? Keren deh,
jadi penasaran aku sama isi novelmu ntar. Kalo udah jadi jangan lupa ya kasih
ke aku, satu aja, tapi gratis. Hehe...” Kevin menderu bahagia.
“Oke, tenang aja. Meski kita
baru kenal, tapi kita BEST FRIEND
kok.” Aku tersenyum cerah ke arahnya. Entah apa yang sedang ku pikirkan,
rasanya ada sebuah sihir yang diam-diam mengalir dalam darahku. Yang membuatku
nyaman setiap Kevin ada untukku. Senyumnya, ucapannya, caranya memperhatikanku,
semuanya membuatku terus memekik dalam hati.
‘Apa aku menyukainya? Apa dia
yang suka sama aku? Ah! Mana mungkin.
Lagian Kevin udah punya pacar. Rhea, dimana otakmu? Mungkin aku cuma ke-GR an. Huh! Ingat, pacaran is not my style.
Mungkin aja kan ini cuma sebagai bentuk pehatiannya sebagai sahabatmu,’
Flashback Off
...
Aku menghela nafas panjang untuk
menenangkan jiwaku. Waktu menunjukkan pukul 20.00. biasanya lelaki itu sudah
datang.
“Kira-kira dia sedang apa ya?... Hmm... Hah!
Tidak! Apa yang telah ku lakukan?” Aku memukul kesal kepalaku.
“Rhea? Kamu gapapa?” Suara ini sangat familiar.
Ya, ini benar dia, Kevin.
Dengan cepat, ia mengambil tempat duduk
disampingku. Baru saja ia menjatuhkan ranselnya di dekatku, tetapi tubuhku
seketika membeku. Apa aku sudah gila? Lupakan! Bisa jadi ini adalah trik lelaki
playboy macam dia.
Ayupuspitaningrum129.blogspot.com
“Masih belum selesai nulisnya?” Kevin memulai
perbincanganannya denganku.
“Iya... tapi udah dikit lagi
kok. Lagian aku gak bisa lama-lama disini. 2 hari lagi aku mau pulang ke
Bogor.” Celotehku dengan Kevin yang sedang asyik menatapku tanpa bosan.
“Kamu mau balik ke Bogor?”
Perasaan Kevin silih berganti sedih.
“Kenapa?” Sidikku padanya.
“Ah.. Andwe! Neol, neomu neomu yeppeuda! Naneun choahae,” Ungkap
Kevin sambil mringis.
“Apa maksudmu?” sontak, aku
menoleh ke arahnya yang hanya berjarak lima centi meter saja antara wajahku
dengannya.
“Katanya, kau sangat-sangat
cantik. Aku menyukaimu, Rhea!” Tangkas William yang duduk tak jauh dariku.
Mendengar ucapan yang menggetarkan
suasana itu, tergores warna merah di pipi Kevin. Aku hanya tersipu malu.
William dan Vesta tertawa cekikikkan melihat tingkahku dan Kevin. Pantas saja,
akhir-akhir ini Kevin selalu bersikap aneh kepadaku. Sesungguhnya akan lebih
berdosa lagi jika pacarnya Kevin tau apa saja yang belakangan ini dirasakan
oleh Kevin. Walau berat, aku mengatakan suatu hal padanya.
“Bagaimana dengan pacarmu? Aku
tidak ingin ikut campur dengan urusan kalian. Kau mengerti kan? Lagi pula tujuanku
kesini buat ngeraih mimpiku,” Ujarku pelan sambil mengusap-usap helaian
rambutku yang tertiup angin.
“Aku tidak menyukainya sekarang.
Mungkin kau tahu aku mendekati banyak perempuan. Tapi aku merasa menjadi
seorang lelaki jika aku ada di dekatmu. Kau berbeda, aku sungguh terbius
karenamu,” jelasnya sambil menatap ke dalam mataku. Hatiku teriris melihat
wajahnya yang berantakan saat mengucapkan hal itu.
“Tidakkah lebih baik jika kau
mengatakan tadi kepada pacarmu, Veby kan? Mengapa harus kepadaku? Akku bukan
gadis sepertinya. Aku tidak akan semudah itu percaya kepada lelaki bualan yang
masih labil. Apalagi tentang hal seperti ini. A.. ku... aku....” Bibirku
tergagap begitu melihatnya tertunduk sedih.
“Kau tidak mengerti apa yang
sedang kurasakan. Mungkin karena kau begitu polos dan innocent. Ku beritahu kau, apa yang ada ini relatif. Bagaimana bisa
kau percaya jika aku menyukai Veby, pacarku sendiri? Padahal kau tak melihat
sifatnya yang memiliki kepribadian ganda. Kau gadis pintar, kan? Resapilah
kata-kataku. Aku mohon mengertilah,” Kevin memelas sambil menahan perih di
hatinya.
“Mana bisa aku meresapi itu
semua jika aku tak mendapat bukti darimu? Aku tidak ingin bermain dengan hati.
Aku mohon, maafkan aku, ku ingin kau mengerti apa yang kumaksud.” Aku langsung
berdiri dan berlalu dari situasi. Aku berlari kencang menuju ke sebuah taksi. Tanpa
kusadari, seseorang menabrakku dari arah yang berlawanan.
Pang!
Tubuhku tersungkur sempurna di
samping badan taksi. Tasku menganga lebar hingga menumpahkan seluruh isinya.
“Maaf aku gak sengaja,” Pintaku
sambil menunduk pada orang yang ku hadapi.
“Maaf, maaf!!! Lu pikir lu
siapa? Jalan pake mata, jangan pake... eh! Lu Rhea ya? Rhea si gadis perayu itu
kan? Yang sok sibuk, sok tau, sok pintar, tapi munafik? Hah! Ternyata ini kau,”
Ejek gadis itu ceplas-ceplos. Tak salah lagi, dia adalah Veby, pacar Kevin.
“Maaf, kalau kamu memang gadis
yang lebih baik dariku, kau tidak akan mengucapkan hal-hal yang baru saja kau
katakan. Karena ucapanmu tadi tidak menunjukkan kalau kau gadis baik-baik.”
Ujarku sambil memunguti barang-barang yang jatuh. Kemudian aku masuk ke dalam
taksi yang ada di sebelahku.
“Mau kemana dik?” Tanya sopir
taksi itu dengan sopan.
“Pak, berhenti di depan kampus
Unitomo ya,” Jawabku tergesa-gesa.
“Iya.”
Di perjalanan, aku masih tidak
menyangka telah melakukan hal konyol seperti tadi. Apalagi jarakku dan Kevin
tadi, sangatlah dekat. Aku takut kalau Kevin terluka karenaku. Apa yang harus
ku lakukan?
Setelah sampai di rumah Sandy,
aku langsung menarik daun pintu tanpa perasaan.
Brakkk!
Pintu depan rumah itu terhempas
kencang memantul dari tempatnya.
“Kamu kenapa sih?” Sandy
mendekatiku yang sudah tepar di kasur sambil menatapi Notebookku.
“Gapapa. O,ya aku udah ngantuk
banget nih.” Rengekku sambil mendorong Sandy keluar dari kamarku.
“Hey! Awas ya.. besok kamu gak
boleh tidur di kamar ini lagi,” Teriaknya tidak terima aku mengusirnya dari kamar
yang di pinjamkannya untukku.
Uh! Akhirnya aku bisa bernafas lega sekarang. Hampir saja Sandy tau
kalau aku telah melakukan hal yang tidak jelas beberapa menit lalu. Aku
mendamparkan tubuhku di atas kasur sambil memeluk gulingku.
“Rasanya ada yang kurang.”
Pikirku.
Aku mencoba memejamkan kedua
kelopak mataku, tapi rasanya begitu berat. ku coba untuk flashback ke waktu aku bertemu dengan gadis itu.
“Biasa aja deh rasanya,” Omelku
seorang diri.
“Baiklah, aku nulis lagi aja
dari pada gak ngapa-ngapain,”
Ku ambil tas kecil berwarna pink
yang sudah tergeletak manis di meja.
“Flashdisk! Dimana flashdiskku?”
Kepalaku seolah berputar mengetahui flashdisk yang menyimpan file draft novelku
menghilang.
“Jangan-jangan....” Otakku
langsung mengutarakan hal ini pada kejadian saat aku tabrakan dengan Veby. Aku
merenung.
“Rhea! Ada yang nyariin kamu,”
Sandy meneriakiku dari depan pintu kamarku. Aku bergegas keluar dan menemui
sosok yang katanya mencariku.
“Veby?” Mataku membulat
sempurna. Ia datang dengan memajang wajah yang mengerikan bagiku. Aku menelan
ludah.
“Ya, mungkin ini punyamu,” Ia
menyodoriku sebuah flashdisk dengan gantungan kunci bergambar foto bintang
korea kesenanganku. Ku raih flashdiskku secepat kilat.
“Makasih,” aku kembali masuk ke
dalam kamar. Gadis itu sekarang sedang berbincang dengan Sandy.
Ku buka file dalam flashdiskku.
Sial! Fileku hilang semua. Untungnya aku punya setengah file yang sudah ku
copas di notebookku.
“Jangan. Bagaimana bisa aku?”
tubuhku menjadi lemas tak berdaya. Serasa tak ada tulang yang menyangga
tubuhku. Semua hampa. Aku sudah tidak bisa membendung air mataku.
Malam ini juga aku keluar
memesan tiket kereta. Aku akan pulang lebih cepat. Keadaan disini sudah membuat
moodku hancur berkeping-keping.
Dengan memakai jemper biru muda
tebal, aku membeli tiket di stasiun terdekat. Dan sepulangnya dari stasiun, aku
langsung menulis surat untuk Kevin.
Esoknya, aku bangun sangat pagi
untuk berkemas. Ketika sarapan bersama keluarga budeku, aku hanya memandangi
makanan di depanku yang belum ku sentuh sama sekali.
“Rhea, kamu beneran jadi pulang
sekarang?” Tanya bude dengan wajah prihatin.
“Iya bude,” jawabku sambil
mengangguk pelan. Aku melirik ke arah jam dinding. Jam menunjukkan pukul 07.00
pagi. Wah, aku hampir terlambat. Tiket kereta ekonomi yang akan ku tumpangi
berangkat setengah jam lagi.
“O,ya Sandy, bude, aku berangkat
sekarang ya. Taksi udah stand by kok di depan. Jadi kalian gausah repot-repot
nganterin aku. Makasih dan maaf ya kalo aku usil banget disini,”
“Kamu yang hati-hati ya...” Bude
memelukku erat sambil mengelus-elus rambutku yang kubiarkan terurai panjang.
“Iya,” Aku pun merenggangkan
pelukanku.
“Sandy, tolong kasih ke Kevin
ya. Katanya dia nanti mau kesini kalau jadi,”
“Iya, hati-hati ya. Jaga
dirimu,” Pesan Sandy padaku.
“Sipp deh!” aku menghadiahi 2
jempol untuk sarannya.
Aku masuk ke dalam taksi dan
memulai kembali perjalanan panjang menuju rumah. Di sisi lain, Kevin baru
datang kala aku baru beranjak pergi menuju stasiun.
“Ini ada titipan dari Rhea,”
Sandy menyodorinya sebuah surat. Lalu dibukanya surat itu yang berisi :
“Jangan merasa bersalah. Itu akan
membuatku terlihat semakin menyedihkan. Tinggalkan aku, aku baik-baik saja.
Mungkin ini bisa jadi kamu nginget aku buat yang terakhir kalinya.
Tersenyumlah, seakan tak ada yang salah. Jika rindu menyapa, aku bisa mengingat
semua itu. Membayangkan wajahmu dalam benakku. Apa kau terluka karenaku? Hah!
Mengapa aku begitu bodoh?”
Tangan Kevin mulai gemetar. Ia
bergegas pergi ke stasiun dan mencariku. Setibanya, ia mendengar alunan musik
pertanda bahwa kereta sudah tiba. Ia terus berlari.
“Rhea!” teriknya keras ketika ia
mendapati seorang gadis yang memakai jaket pink, rambut terurai panjang sebahu,
berkaki jenjang dengan balutan jeans berwarna kebiruan.
Aku menengok ke belakang.
“Kevin.”
Sebal rasanya, namun sejujurnya
hati ini bahagia melihatnya mencariku sekarang.
“Eh! Kamu kok pergi sekarang gak
ngomong-ngomong sih?” Protesnya disertai nafasnya yang tersengal-sengal.
“Kamu kangen ya kalo aku pulang
sekarang.?” Ejekku padanya.
“Jangan lupain aku ya...” Kevin
menata lagi rambutnya yang berantakan. Aku mengerjab.
“Eh?”
“Yaudahlah, pokoknya makasih
ya,” Ia tersenyum manis ke arahku.
“Jangan nyerah buat gapai
mimpimu. Aku yakin kok kalo kamu bisa. Soal Veby, maaf ya, sekarang kamu tahu
kan?” Kevin ber-puh dengan maksud
‘aku lega’.
“Eh! Keretanya udah mau jalan.
Bye.... makasih Kevin, jangan lupain juga mimpimu. Jangan pacaran terus, kamu
lahir buat jadi bintang bukan bangkai,” Ucapku sambil melambaikan tangan ke
arahnya yang melambaikan tangan kepadaku.
Aku tidak akan melupakan segala
hal yang kita lukis sampai terakhir kali aku melihatmu. Walau semua ini terasa
berakhir dengan cepat diujung jariku. Aku bersumpah, akan terus mengiangkanmu
di otakku.
~Semoga
kita berjumpa lagi~
The End