.................................................................

.................................................................

Senin, 14 Maret 2016

Cerpen (Fiction) I'm Not Her



I’m Not Her
Author             : Jung Rae Ah (Ayu P.)
Rating              : Teen
Disclaimer :
*This Story is Mine
*cr : Ayupuspitaningrum129.blogspot.com
A/N : Awas Typo Campur Aduk, Maaf Kalau Kurang Seru. ^_^
2015©Jung Rae Ah(Ayu P.)
...
...
---Happy Reading---
Hope You Enjoy It
...
...



Jreng jreng
                Getaran senar gitar dari petikan tangan-tangan pengamen itu menggaunggema di pinggir jalan kota yang mulai gelap. Tak peduli itu tua, muda, cacat, sehat, lelaki, atau perempuan, mereka rela bernyanyi sambil bergila-gila demi rupiah. Ashh! Rupanya bangsa ini mulai hancur oleh generasi muda. Harga diri saja mulai diharga kan. Eh? Ya, belum lagi ditambah dengan maraknya narkoba, seks bebas, dan satu hal yang paling ku benci, yaitu pacaran belum pada waktunya.
                Kali ini aku sedang menghabiskan liburan di Surabaya. Lebih tepatnya, mencari inspirasi untuk merangkai draft novel yang harus ku selesaikan. Jadi, aku datang jauh-jauh dari Bogor ke Surabaya karena keinginanku sendiri. Orang tuaku sudah tau jika aku kesini sendiri, dan tinggal sementara di rumah sepupuku, Sandy.
                “Rhea!!!” Panggil seseorang dari kejauhan.
                Ku layangkan pandanganku ke segala penjuru jalanan, tetapi aku tak melihat batang hidung sosok yang baru memanggilku.
                “Rhea! Ngapain kamu disini, hah? Sendirian lagi. Bahaya tau,” Ulas orang itu yang telah berdiri tepat disampingku. Aku tertegun. Rupanya dia adalah sahabatku, Vesta.
                Eh?
                Eh, ah, eh! Udahlah, yuk kita cabut sekarang aja yah,” Ajak Vesta to the point.
                Tetapi aku malah masih mematung di tempatku, di bawah pohon palem yang dihiasi lampu kerlap-kerlip.
                Oi! Sini rek! Aku udah ditunggu sama pacarku,” Gerutu Vesta sambil menyeretku pergi.
Menyebalkan! Aku sungguh benci dengan logat sahabatku yang seperti itu. Sudah seminggu ini aku diajaknya kencan, tapi jadi obat nyamuknya. Namun, aku bisa memanfaatkan situasi untuk untuk menggarap novelku. Karena aku berharap, saat kelas XI nanti karyaku sudah termuat di penerbit buku yang terkenal.
                Seperti biasanya, pacarnya setia menunggu di taman Bungkul. Taman terluas se-Asia Tenggara. Wow! Sungguh ramai tempat itu. Desiran angin lembut yang menerpa wajahku, selalu ku nikmati sampai ke dunia fantasiku.
                Disana, aku langsung duduk rapi di tempat yang tidak jauh dari Vesta dan pacarnya, William. Uh! Apa enaknya pacaran? Cih! Apalagi kita masih labil kan? Lebih menyenangkan kalau aku menulis saja. Dibilang anti pacaran, tapi terkadang aku takut kalau mengalami hal  yang sama seperti yang mereka rasakan. Hmm... Falling In Love? Tunggu. Kata-kata ‘falling in love’ tadi membuat jemariku berhenti menekan tuts-tuts keyboard notebookku.
...
Flashback ON.
                4 day ago.
                “Hai! Namamu benar Rhea kan?” Sosok berperawakan gagah itu menghadapku penuh harap.
                Yak! Kenapa? Kamu sendiri Kevin kan?” Aku menjawabnya seolah menimbun harapan yang terlukis di wajahnya.
                “Kok tau?”
                Aku hanya mendiamkan pertanyaan basa-basi itu. Ku buaikan diriku dalam alur cerita yang tengah ku buat. Karena aku sedang menuju klimaksnya. Mataku menatap lekat-lekat notebookku tanpa memerhatikan sosok bernama Kevin, sahabat William.
                “Nulis lagi ya?” Ia menyelamkan kepalanya di dekat monitor. Sedangkan aku hanya mengiyakan pertanyaannya. Tak lama kemudian, sesuatu muncul dalam benakku.
                “O, ya. Makasih, karena kamu, kemarin aku bisa nulis genre romance. Ah! Thanks banget yaa... aku gak tau harus ngomong apa lagi.”
                Eh? Masa’? Keren deh, jadi penasaran aku sama isi novelmu ntar. Kalo udah jadi jangan lupa ya kasih ke aku, satu aja, tapi gratis. Hehe...” Kevin menderu bahagia.
                “Oke, tenang aja. Meski kita baru kenal, tapi kita BEST FRIEND kok.” Aku tersenyum cerah ke arahnya. Entah apa yang sedang ku pikirkan, rasanya ada sebuah sihir yang diam-diam mengalir dalam darahku. Yang membuatku nyaman setiap Kevin ada untukku. Senyumnya, ucapannya, caranya memperhatikanku, semuanya membuatku terus memekik dalam hati.
                ‘Apa aku menyukainya? Apa dia yang suka sama aku? Ah! Mana mungkin. Lagian Kevin udah punya pacar. Rhea, dimana otakmu? Mungkin aku cuma ke-GR an. Huh! Ingat, pacaran is not my style. Mungkin aja kan ini cuma sebagai bentuk pehatiannya sebagai sahabatmu,’
Flashback Off
...
                Aku menghela nafas panjang untuk menenangkan jiwaku. Waktu menunjukkan pukul 20.00. biasanya lelaki itu sudah datang.
“Kira-kira dia sedang apa ya?... Hmm... Hah! Tidak! Apa yang telah ku lakukan?” Aku memukul kesal kepalaku.
“Rhea? Kamu gapapa?” Suara ini sangat familiar. Ya, ini benar dia, Kevin.
Dengan cepat, ia mengambil tempat duduk disampingku. Baru saja ia menjatuhkan ranselnya di dekatku, tetapi tubuhku seketika membeku. Apa aku sudah gila? Lupakan! Bisa jadi ini adalah trik lelaki playboy macam dia.

Ayupuspitaningrum129.blogspot.com

“Masih belum selesai nulisnya?” Kevin memulai perbincanganannya denganku.
                “Iya... tapi udah dikit lagi kok. Lagian aku gak bisa lama-lama disini. 2 hari lagi aku mau pulang ke Bogor.” Celotehku dengan Kevin yang sedang asyik menatapku tanpa bosan.
                “Kamu mau balik ke Bogor?” Perasaan Kevin silih berganti sedih.
                “Kenapa?” Sidikku padanya.
                Ah.. Andwe! Neol, neomu neomu yeppeuda! Naneun choahae,” Ungkap Kevin sambil mringis.
                “Apa maksudmu?” sontak, aku menoleh ke arahnya yang hanya berjarak lima centi meter saja antara wajahku dengannya.
                “Katanya, kau sangat-sangat cantik. Aku menyukaimu, Rhea!” Tangkas William yang duduk tak jauh dariku.
                Mendengar ucapan yang menggetarkan suasana itu, tergores warna merah di pipi Kevin. Aku hanya tersipu malu. William dan Vesta tertawa cekikikkan melihat tingkahku dan Kevin. Pantas saja, akhir-akhir ini Kevin selalu bersikap aneh kepadaku. Sesungguhnya akan lebih berdosa lagi jika pacarnya Kevin tau apa saja yang belakangan ini dirasakan oleh Kevin. Walau berat, aku mengatakan suatu hal padanya.
                “Bagaimana dengan pacarmu? Aku tidak ingin ikut campur dengan urusan kalian. Kau mengerti kan? Lagi pula tujuanku kesini buat ngeraih mimpiku,” Ujarku pelan sambil mengusap-usap helaian rambutku yang tertiup angin.
                “Aku tidak menyukainya sekarang. Mungkin kau tahu aku mendekati banyak perempuan. Tapi aku merasa menjadi seorang lelaki jika aku ada di dekatmu. Kau berbeda, aku sungguh terbius karenamu,” jelasnya sambil menatap ke dalam mataku. Hatiku teriris melihat wajahnya yang berantakan saat mengucapkan hal itu.
                “Tidakkah lebih baik jika kau mengatakan tadi kepada pacarmu, Veby kan? Mengapa harus kepadaku? Akku bukan gadis sepertinya. Aku tidak akan semudah itu percaya kepada lelaki bualan yang masih labil. Apalagi tentang hal seperti ini. A.. ku... aku....” Bibirku tergagap begitu melihatnya tertunduk sedih.
                “Kau tidak mengerti apa yang sedang kurasakan. Mungkin karena kau begitu polos dan innocent. Ku beritahu kau, apa yang ada ini relatif. Bagaimana bisa kau percaya jika aku menyukai Veby, pacarku sendiri? Padahal kau tak melihat sifatnya yang memiliki kepribadian ganda. Kau gadis pintar, kan? Resapilah kata-kataku. Aku mohon mengertilah,” Kevin memelas sambil menahan perih di hatinya.
                “Mana bisa aku meresapi itu semua jika aku tak mendapat bukti darimu? Aku tidak ingin bermain dengan hati. Aku mohon, maafkan aku, ku ingin kau mengerti apa yang kumaksud.” Aku langsung berdiri dan berlalu dari situasi. Aku berlari kencang menuju ke sebuah taksi. Tanpa kusadari, seseorang menabrakku dari arah yang berlawanan.
                Pang!
                Tubuhku tersungkur sempurna di samping badan taksi. Tasku menganga lebar hingga menumpahkan seluruh isinya.
                “Maaf aku gak sengaja,” Pintaku sambil menunduk pada orang yang ku hadapi.
                “Maaf, maaf!!! Lu pikir lu siapa? Jalan pake mata, jangan pake... eh! Lu Rhea ya? Rhea si gadis perayu itu kan? Yang sok sibuk, sok tau, sok pintar, tapi munafik? Hah! Ternyata ini kau,” Ejek gadis itu ceplas-ceplos. Tak salah lagi, dia adalah Veby, pacar Kevin.
                “Maaf, kalau kamu memang gadis yang lebih baik dariku, kau tidak akan mengucapkan hal-hal yang baru saja kau katakan. Karena ucapanmu tadi tidak menunjukkan kalau kau gadis baik-baik.” Ujarku sambil memunguti barang-barang yang jatuh. Kemudian aku masuk ke dalam taksi yang ada di sebelahku.
                “Mau kemana dik?” Tanya sopir taksi itu dengan sopan.
                “Pak, berhenti di depan kampus Unitomo ya,” Jawabku tergesa-gesa.
                “Iya.”
                Di perjalanan, aku masih tidak menyangka telah melakukan hal konyol seperti tadi. Apalagi jarakku dan Kevin tadi, sangatlah dekat. Aku takut kalau Kevin terluka karenaku. Apa yang harus ku lakukan?
                Setelah sampai di rumah Sandy, aku langsung menarik daun pintu tanpa perasaan.
                Brakkk!
                Pintu depan rumah itu terhempas kencang memantul dari tempatnya.
                “Kamu kenapa sih?” Sandy mendekatiku yang sudah tepar di kasur sambil menatapi Notebookku.
                “Gapapa. O,ya aku udah ngantuk banget nih.” Rengekku sambil mendorong Sandy keluar dari kamarku.
                “Hey! Awas ya.. besok kamu gak boleh tidur di kamar ini lagi,” Teriaknya tidak terima aku mengusirnya dari kamar yang di pinjamkannya untukku.
                Uh! Akhirnya aku bisa bernafas lega sekarang. Hampir saja Sandy tau kalau aku telah melakukan hal yang tidak jelas beberapa menit lalu. Aku mendamparkan tubuhku di atas kasur sambil memeluk gulingku.
                “Rasanya ada yang kurang.” Pikirku.
                Aku mencoba memejamkan kedua kelopak mataku, tapi rasanya begitu berat. ku coba untuk flashback ke waktu aku bertemu dengan gadis itu.
                “Biasa aja deh rasanya,” Omelku seorang diri.
                “Baiklah, aku nulis lagi aja dari pada gak ngapa-ngapain,”
                Ku ambil tas kecil berwarna pink yang sudah tergeletak manis di meja.
                “Flashdisk! Dimana flashdiskku?” Kepalaku seolah berputar mengetahui flashdisk yang menyimpan file draft novelku menghilang.
                “Jangan-jangan....” Otakku langsung mengutarakan hal ini pada kejadian saat aku tabrakan dengan Veby. Aku merenung.
                “Rhea! Ada yang nyariin kamu,” Sandy meneriakiku dari depan pintu kamarku. Aku bergegas keluar dan menemui sosok yang katanya mencariku.
                “Veby?” Mataku membulat sempurna. Ia datang dengan memajang wajah yang mengerikan bagiku. Aku menelan ludah.
                “Ya, mungkin ini punyamu,” Ia menyodoriku sebuah flashdisk dengan gantungan kunci bergambar foto bintang korea kesenanganku. Ku raih flashdiskku secepat kilat.
                “Makasih,” aku kembali masuk ke dalam kamar. Gadis itu sekarang sedang berbincang dengan Sandy.
                Ku buka file dalam flashdiskku. Sial! Fileku hilang semua. Untungnya aku punya setengah file yang sudah ku copas di notebookku.
                “Jangan. Bagaimana bisa aku?” tubuhku menjadi lemas tak berdaya. Serasa tak ada tulang yang menyangga tubuhku. Semua hampa. Aku sudah tidak bisa membendung air mataku.
                Malam ini juga aku keluar memesan tiket kereta. Aku akan pulang lebih cepat. Keadaan disini sudah membuat moodku hancur berkeping-keping.
                Dengan memakai jemper biru muda tebal, aku membeli tiket di stasiun terdekat. Dan sepulangnya dari stasiun, aku langsung menulis surat untuk Kevin.
                Esoknya, aku bangun sangat pagi untuk berkemas. Ketika sarapan bersama keluarga budeku, aku hanya memandangi makanan di depanku yang belum ku sentuh sama sekali.
                “Rhea, kamu beneran jadi pulang sekarang?” Tanya bude dengan wajah prihatin.
                “Iya bude,” jawabku sambil mengangguk pelan. Aku melirik ke arah jam dinding. Jam menunjukkan pukul 07.00 pagi. Wah, aku hampir terlambat. Tiket kereta ekonomi yang akan ku tumpangi berangkat setengah jam lagi.
                “O,ya Sandy, bude, aku berangkat sekarang ya. Taksi udah stand by kok di depan. Jadi kalian gausah repot-repot nganterin aku. Makasih dan maaf ya kalo aku usil banget disini,”
                “Kamu yang hati-hati ya...” Bude memelukku erat sambil mengelus-elus rambutku yang kubiarkan terurai panjang.
                “Iya,” Aku pun merenggangkan pelukanku.
                “Sandy, tolong kasih ke Kevin ya. Katanya dia nanti mau kesini kalau jadi,”
                “Iya, hati-hati ya. Jaga dirimu,” Pesan Sandy padaku.
                “Sipp deh!” aku menghadiahi 2 jempol untuk sarannya.
                Aku masuk ke dalam taksi dan memulai kembali perjalanan panjang menuju rumah. Di sisi lain, Kevin baru datang kala aku baru beranjak pergi menuju stasiun.
                “Ini ada titipan dari Rhea,” Sandy menyodorinya sebuah surat. Lalu dibukanya surat itu yang berisi :
                “Jangan merasa bersalah. Itu akan membuatku terlihat semakin menyedihkan. Tinggalkan aku, aku baik-baik saja. Mungkin ini bisa jadi kamu nginget aku buat yang terakhir kalinya. Tersenyumlah, seakan tak ada yang salah. Jika rindu menyapa, aku bisa mengingat semua itu. Membayangkan wajahmu dalam benakku. Apa kau terluka karenaku? Hah! Mengapa aku begitu bodoh?” 
                Tangan Kevin mulai gemetar. Ia bergegas pergi ke stasiun dan mencariku. Setibanya, ia mendengar alunan musik pertanda bahwa kereta sudah tiba. Ia terus berlari.
                “Rhea!” teriknya keras ketika ia mendapati seorang gadis yang memakai jaket pink, rambut terurai panjang sebahu, berkaki jenjang dengan balutan jeans berwarna kebiruan.
                Aku menengok ke belakang.
                “Kevin.”
                Sebal rasanya, namun sejujurnya hati ini bahagia melihatnya mencariku sekarang.
                “Eh! Kamu kok pergi sekarang gak ngomong-ngomong sih?” Protesnya disertai nafasnya yang tersengal-sengal.
                “Kamu kangen ya kalo aku pulang sekarang.?” Ejekku padanya.
                “Jangan lupain aku ya...” Kevin menata lagi rambutnya yang berantakan. Aku mengerjab.
                “Eh?”
                “Yaudahlah, pokoknya makasih ya,” Ia tersenyum manis ke arahku.
                “Jangan nyerah buat gapai mimpimu. Aku yakin kok kalo kamu bisa. Soal Veby, maaf ya, sekarang kamu tahu kan?” Kevin ber-puh dengan maksud ‘aku lega’.
                “Eh! Keretanya udah mau jalan. Bye.... makasih Kevin, jangan lupain juga mimpimu. Jangan pacaran terus, kamu lahir buat jadi bintang bukan bangkai,” Ucapku sambil melambaikan tangan ke arahnya yang melambaikan tangan kepadaku.
                Aku tidak akan melupakan segala hal yang kita lukis sampai terakhir kali aku melihatmu. Walau semua ini terasa berakhir dengan cepat diujung jariku. Aku bersumpah, akan terus mengiangkanmu di otakku.
~Semoga kita berjumpa lagi~

The End

Tidak ada komentar:

Soshi One

Soshi One