.................................................................

.................................................................

Senin, 14 Desember 2015

[Cerpen] No Title (Inspired By Zelo-No Title)

Annyeonghaseyo Readersss... :) :)
author comeback nih sama cerita-cerita author *yaelah* walaupun ini sebenernya tugas majalah author :D, author posr aja deh... itung-itung buat nambah post di Blog ini. Cerpen ini terinspirasi sama lagunya Zelo - No Title. iya sih, banyak jga curcolnya di cerpen ini. eiittss,,,, Langsung aja... Happy Reading :) :) :)



Rounded Rectangle: CERPEN 

No Title
~Semakin waktu berlanjut, semakin misteriuslah itu. Dalam keheningan menyebar, tidak ada kepedulian untuk membuka mata. Tidak, kau masih muda tapi di mataku kau seorang buntal yang diisi dengan racun~

...

                Wusshh... 

                Angin pagi berlari diantara bilik kosong yang menghias jiwaku. Sepanjang langkahku menuju kelas, suara itu terus menggema. Berbagai suara kebohongan manis yang tiada realisasinya. Saat alas kakiku menyentuh mulut pintu, aku melihat teman-temanku yang masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Hingga sebuah sapaan kecil menyambut kedatanganku.

                Hey, Jessica! Kenapa kau tidak bergabung dengan kami? Lihatlah! Disini kami saja yang beramai-ramai masih merasa kesepian, apalagi kau yang selalu sibuk dengan urusan fabrikasimu.” Tangkas Lia teman biasaku. Aku memutar kedua bola mata. Dalam hatiku muak, tapi aku tak punya apa-apa lagi untuk mengatakan lebih daripada ini.

“Aku ingin menyendiri.” Ujarku singkat tanpa melirik ke arahnya sedikit pun.

 Entah itu sindiran atau penyuruhan, enak saja dia menyebut semua urusan kelas yang ku tanggung sendiri tanpa balasan yang setimpal itu lalu disebut fabrikasi? Ini bukan proyek, belum lagi ditambah dengan urusan asmaraku yang sempat pasang surut. Bahkan saat aku sedih, aku hanya perlu membuka lipatan memoriku dengan salah satu bintang korea yang ku sukai. Tapi itu saja tidak cukup membuatku bahagia jika ingatanku dengannya melintas dalam otakku. 

Selama pelajaran, aku lengah. Apalagi ini adalah pelajaran Matematika yang gurunya terkenal killer, Bu Cynthea namanya, Cynthea Krystal Stephania. Rambut blonde pirangnyaitu menjadi andalannya. Dalam pelajaran, beliau tidak perlu mengabsen muridnya, tapi mengabsen PR muridnya. Beliau mengecek tugas anak-anak dari bangku paling depan sambil membawa sebuah stick yang digunakannya untuk menunjuk dan mendorong-dorong. 

Si biang kerok, Surya, lagi-lagi mendapat hadiah yang menurutku mengerikan untuk ketiga kalinya. Ah tidak! Bukuku ketinggalan. Aku mengeluarkan seisi tasku, tapi tidak ada buku yang kucari. Terpaksa, saat giliranku aku harus menerima semprotan istimewa dari Bu Cynthea.

“Maaf bu, buku saya ketinggalan. Tapi saya sudah mengerjakan kok Bu,” Jelasku innocent.

Cih! Bilang saja kalau belum mengerjakan. CEPAT KELUAR! Atau aku akan membalasnya lewat kertas nantinya!” Bentak bu Cynthea yang tengah menatapku garang.

“Tapi bu,  saya benar-benar sudah mengerjakan. Lagian kalau saya diluar kan saya tidak bisa mengerti pelajaran anda.” Aku mengelak dengan maksud agar Bu Cynthea tidak jadi menghukumku. 

Hey! Kau baru bocah kelas sepuluh sudah berani melawan gurumu sendiri. Hah! Kau pikir kau siapa? Anak pengusaha terkaya? Anak professor? Anak professor sekalipun pasti mau belajar. Tidak seperti kau. Jika kau bisa mendengar, cepat keluarbocahtengik.!!!” Luap Bu Cynthea dengan nada kasar.

Dengan pasrah, aku menyusul Surya sambil mendapat sorotan tajam seisi kelas. Diluar, aku melihat si Surya malah makan snack kesukaannya sambil jongkok. Aku menggeleng, disaat situasi dihukum pun dia masih berani melakukan hal yang dilarang. Aku mengabaikannya dan duduk di sembarang tempat yang nyaman dengan radius yang agak jauh dari Surya. Karena, sejujurnya aku sangat tidak sudi dihukum bersamasi biang kerokini. 

Ayupuspitaningrum129.blogspot.com

Belum lama, hujan pun turun memecah keheningan pagi. Seluruh rasa sakit ini, ikut tersiram saat aku menatap rintikan hujan yang mengisi pandanganku. Di luar sangat dingin. Sontak, aku memeluk kedua lututku sambil berdiam  diri.

“Apa yang kau lakukan?” Tanya Surya yang sudah berdiri disampingku.

“Harusnya aku yang bertanya, apa yang sedang kau lakukan?” Omelku setengah terkejut.

“Apa kau tahu apa arti rintihan hujan yang kau lihat sekarang?” Tanyanya semakin aneh.

“Tidak.” Aku mulai menyimak apa yang dikatakan Surya.

“Aku membayangkan saat hujan seperti ini, bagai melihat seluruh air mata jagat raya ini.” Celotehnya sok tahu.

“Sekaligus seperti apa yang terlukis diwajahmu sekarang. MENYEDIHKAN!” Tambahnya seolah tak berdosa mengataiku seperti itu.

Yak! Apa maksudmu? Bagaimana aku tak sedih jika apa yang telah kulakukan untuk kalian semua menjadi sia-sia begitu saja dihadapan kalian sendiri. Hah? Apa kau tidak melihat yang telah kulakukan selama ini? Yea, kalian benar-benar buta denganku. Teman kalian sendiri, yang memperjuangkan sesuatu lalu sedikit-sedikit kalian salahkan jika sekelas dihukum.” Protesku langsung to the point dengan tatapan marah ke dalam matanya.

JedaaRrrr..
.
Geledak petir yang menyambar-nyambar, seolah menengahi perbincangan kami yang masih saling menatap tajam. 

Oh! Jadi itu yang membuatmu murung akhir-akhir ini. Apa kau tahu apa yang membuatku membabi buta?” Ia kembali melemparkan pertanyaan aneh untukku. Dasar! Orang ini benar-benar gila. Untuk apa ia mengintrogasiku seperti ini.

Cih~ selain buta rupanya kau juga tuli. Aku sudah mengatakan jika aku tidak pernah kalian pedulikan. Jadi untuk apa memperdulikan keadaan orang yang tidak peduli denganku?” Gumamku ricau.

“Kalau begitu pikirkan sekali lagi. Aku tau apa yang kau rasakan, kau dikacangi? Dibulli? Seperti orang yang dihinggapi gagak hitam? Nah bagaimana jika kau menjadi aku yang mempunyai kenangan buruk, dimana saat aku masih kecil harus dipaksa melihat kematian ibuku sendiri yang dibunuh oleh ayah kandungku sehingga....” 

Belum selesai bergelut dengan Surya, tiba-tiba Bu Cynthea yang galak itu datang.

Wah wah.. kalian benar-benar serasi. Sekarang kalian boleh masuk, pasangan serasi.” Sahut Bu Cynthea dengan sinis. Aku membulatkan kedua mataku.

‘Pasangan serasi? Apa?’ Pekikku dalam hati sambil masuk ke kelas.

Jelas saja hatiku tidak terima. Aku sudah menyukai orang lain dan berharap disebut seperti itu dengan orang yang sukai, bukan dengan si biang kerok ini. 

                Beberapa lembar kertas membuat mereka memperlakukan kebenaran seperti kuburan sekarang. Aku tidak cukup tahu jika aku memiliki potensi. Mulutku yang selama ini bungkam untuk bercerita, kini telah lama menunggu untuk berbicara. Jika aku selalu kalah cepat karena takut, mental musiman, tapi aku bisa melakukannya, apakah aku dibilang dungu? 

                Akan menjadi sebuah keberuntungan jika aku dimengerti sebagai anak yang butuh bantuan dalam mengerjakan kepentingan bersama. Tapi tidak ada yang peka denganku. Itu sakit, bahkan lebih sakit dari hatiku yang tercekat. Di dunia ini, nyaris tidak ada orang yang bisa kupercaya.

                Ku pikir semua ini bagaikan rangkaian mimpi indah yang sebenarnya hanya bayangan semu belaka. Tapi sampai sekarang aku pun tak mengerti permainan apa yang sedang ku lalui. Walau ragu, aku selalu menyempatkan diri mendongak ke langit. Berharap saat aku mengulurkan tanganku, ada orang yang meraih itu.
The End
Author : Jung Rae Ah (Ayu Puspitaningrum)

Tidak ada komentar:

Soshi One

Soshi One