author comeback nih sama cerita-cerita author *yaelah* walaupun ini sebenernya tugas majalah author :D, author posr aja deh... itung-itung buat nambah post di Blog ini. Cerpen ini terinspirasi sama lagunya Zelo - No Title. iya sih, banyak jga curcolnya di cerpen ini. eiittss,,,, Langsung aja... Happy Reading :) :) :)
No Title
~Semakin waktu berlanjut, semakin misteriuslah itu. Dalam
keheningan menyebar, tidak ada kepedulian untuk membuka mata. Tidak, kau masih
muda tapi di mataku kau seorang buntal yang diisi dengan racun~
...
Wusshh...
Angin pagi berlari diantara
bilik kosong yang menghias jiwaku. Sepanjang langkahku menuju kelas, suara itu
terus menggema. Berbagai suara kebohongan manis yang tiada realisasinya. Saat
alas kakiku menyentuh mulut pintu, aku melihat teman-temanku yang masih sibuk
dengan urusannya masing-masing. Hingga sebuah sapaan kecil menyambut
kedatanganku.
“Hey, Jessica! Kenapa kau tidak bergabung dengan kami? Lihatlah!
Disini kami saja yang beramai-ramai masih merasa kesepian, apalagi kau yang
selalu sibuk dengan urusan fabrikasimu.” Tangkas Lia teman biasaku. Aku memutar
kedua bola mata. Dalam hatiku muak, tapi aku tak punya apa-apa lagi untuk
mengatakan lebih daripada ini.
“Aku ingin menyendiri.” Ujarku singkat tanpa melirik ke
arahnya sedikit pun.
Entah itu sindiran atau
penyuruhan, enak saja dia menyebut semua urusan kelas yang ku tanggung sendiri
tanpa balasan yang setimpal itu lalu disebut fabrikasi? Ini bukan proyek, belum
lagi ditambah dengan urusan asmaraku yang sempat pasang surut. Bahkan saat aku
sedih, aku hanya perlu membuka lipatan memoriku dengan salah satu bintang korea
yang ku sukai. Tapi itu saja tidak cukup membuatku bahagia jika ingatanku
dengannya melintas dalam otakku.
Selama pelajaran, aku lengah. Apalagi ini adalah pelajaran
Matematika yang gurunya terkenal killer,
Bu Cynthea namanya, Cynthea Krystal Stephania. Rambut blonde pirangnyaitu menjadi andalannya. Dalam pelajaran, beliau
tidak perlu mengabsen muridnya, tapi mengabsen PR muridnya. Beliau mengecek
tugas anak-anak dari bangku paling depan sambil membawa sebuah stick yang digunakannya untuk menunjuk
dan mendorong-dorong.
Si biang kerok,
Surya, lagi-lagi mendapat hadiah yang menurutku mengerikan untuk ketiga
kalinya. Ah tidak! Bukuku
ketinggalan. Aku mengeluarkan seisi tasku, tapi tidak ada buku yang kucari.
Terpaksa, saat giliranku aku harus menerima semprotan istimewa dari Bu Cynthea.
“Maaf bu, buku saya ketinggalan. Tapi saya sudah mengerjakan
kok Bu,” Jelasku innocent.
“Cih! Bilang saja
kalau belum mengerjakan. CEPAT KELUAR! Atau aku akan membalasnya lewat kertas
nantinya!” Bentak bu Cynthea yang tengah menatapku garang.
“Tapi bu, saya
benar-benar sudah mengerjakan. Lagian kalau saya diluar kan saya tidak bisa
mengerti pelajaran anda.” Aku mengelak dengan maksud agar Bu Cynthea tidak jadi
menghukumku.
“Hey! Kau baru bocah kelas sepuluh sudah berani melawan
gurumu sendiri. Hah! Kau pikir kau siapa? Anak pengusaha terkaya? Anak professor? Anak professor sekalipun pasti mau belajar. Tidak seperti kau. Jika kau
bisa mendengar, cepat keluarbocahtengik.!!!”
Luap Bu Cynthea dengan nada kasar.
Dengan pasrah, aku menyusul Surya sambil mendapat sorotan
tajam seisi kelas. Diluar, aku melihat si Surya malah makan snack kesukaannya sambil jongkok. Aku
menggeleng, disaat situasi dihukum pun dia masih berani melakukan hal yang
dilarang. Aku mengabaikannya dan duduk di sembarang tempat yang nyaman dengan
radius yang agak jauh dari Surya. Karena, sejujurnya aku sangat tidak sudi
dihukum bersamasi biang kerokini.
Ayupuspitaningrum129.blogspot.com
Belum lama, hujan pun turun memecah keheningan pagi. Seluruh
rasa sakit ini, ikut tersiram saat aku menatap rintikan hujan yang mengisi
pandanganku. Di luar sangat dingin. Sontak, aku memeluk kedua lututku sambil
berdiam diri.
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Surya yang sudah berdiri
disampingku.
“Harusnya aku yang bertanya, apa yang sedang kau lakukan?”
Omelku setengah terkejut.
“Apa kau tahu apa arti rintihan hujan yang kau lihat
sekarang?” Tanyanya semakin aneh.
“Tidak.” Aku mulai menyimak apa yang dikatakan Surya.
“Aku membayangkan saat hujan seperti ini, bagai melihat seluruh
air mata jagat raya ini.” Celotehnya sok tahu.
“Sekaligus seperti apa yang terlukis diwajahmu sekarang.
MENYEDIHKAN!” Tambahnya seolah tak berdosa mengataiku seperti itu.
“Yak! Apa
maksudmu? Bagaimana aku tak sedih jika apa yang telah kulakukan untuk kalian
semua menjadi sia-sia begitu saja dihadapan kalian sendiri. Hah? Apa kau tidak melihat yang telah
kulakukan selama ini? Yea, kalian
benar-benar buta denganku. Teman kalian sendiri, yang memperjuangkan sesuatu
lalu sedikit-sedikit kalian salahkan jika sekelas dihukum.” Protesku langsung to the point dengan tatapan marah ke
dalam matanya.
JedaaRrrr..
.
Geledak petir yang menyambar-nyambar, seolah menengahi
perbincangan kami yang masih saling menatap tajam.
“Oh! Jadi itu yang
membuatmu murung akhir-akhir ini. Apa kau tahu apa yang membuatku membabi
buta?” Ia kembali melemparkan pertanyaan aneh untukku. Dasar! Orang ini
benar-benar gila. Untuk apa ia mengintrogasiku seperti ini.
“Cih~ selain buta
rupanya kau juga tuli. Aku sudah mengatakan jika aku tidak pernah kalian
pedulikan. Jadi untuk apa memperdulikan keadaan orang yang tidak peduli
denganku?” Gumamku ricau.
“Kalau begitu pikirkan sekali lagi. Aku tau apa yang kau
rasakan, kau dikacangi? Dibulli? Seperti orang yang dihinggapi gagak hitam? Nah
bagaimana jika kau menjadi aku yang mempunyai kenangan buruk, dimana saat aku
masih kecil harus dipaksa melihat kematian ibuku sendiri yang dibunuh oleh ayah
kandungku sehingga....”
Belum selesai bergelut dengan Surya, tiba-tiba Bu Cynthea
yang galak itu datang.
“Wah wah.. kalian
benar-benar serasi. Sekarang kalian boleh masuk, pasangan serasi.” Sahut Bu
Cynthea dengan sinis. Aku membulatkan kedua mataku.
‘Pasangan serasi? Apa?’ Pekikku dalam hati sambil masuk ke
kelas.
Jelas saja hatiku tidak terima. Aku sudah menyukai orang
lain dan berharap disebut seperti itu dengan orang yang sukai, bukan dengan si biang kerok ini.
Beberapa lembar kertas membuat
mereka memperlakukan kebenaran seperti kuburan sekarang. Aku tidak cukup tahu
jika aku memiliki potensi. Mulutku yang selama ini bungkam untuk bercerita,
kini telah lama menunggu untuk berbicara. Jika aku selalu kalah cepat karena
takut, mental musiman, tapi aku bisa melakukannya, apakah aku dibilang dungu?
Akan menjadi sebuah
keberuntungan jika aku dimengerti sebagai anak yang butuh bantuan dalam
mengerjakan kepentingan bersama. Tapi tidak ada yang peka denganku. Itu sakit, bahkan
lebih sakit dari hatiku yang tercekat. Di dunia ini, nyaris tidak ada orang
yang bisa kupercaya.
Ku pikir semua ini bagaikan
rangkaian mimpi indah yang sebenarnya hanya bayangan semu belaka. Tapi sampai
sekarang aku pun tak mengerti permainan apa yang sedang ku lalui. Walau ragu,
aku selalu menyempatkan diri mendongak ke langit. Berharap saat aku mengulurkan
tanganku, ada orang yang meraih itu.
The End
Author : Jung Rae Ah (Ayu Puspitaningrum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar